Al-Israa:36

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"In the name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful"



Friday 10 March 2017

Aplikasi Multimedia dalam Pendidikan

Pengembangan program multimedia untuk keperluan pendidikan tidak sama dengan program multimedia untuk hiburan dan permainan. Pengembangan program multimedia untuk keperluan pendidikan lebih sulit dibandingkan untuk permainan atau hiburan. Oleh karena itu program multimedia untuk keperluan pendidikan memerlukan desain yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam kurikulum. Menurut beberapa pakar pendidikan, teknologi, dan psikologi, menekankan agar program multimedia yang dikembangkan dapat mudah digunakan, memenuhi keperluan pengembangan pengetahuan, meningkatkan keterampilan dan kreativitas siswa, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berinteraksi serta memungkinkan untuk adanya umpan balik yang baik (chang, N., Rossini, M.L. & Pan, A.C. 1997;Elkind, 1987). Wright (1994) dalam Munir (2013, hlm. 22) menambahkan syarat jika usia siswa yang masih kanak-kanak akan menggunakan multimedia, hendaknya dalam pengembangan multimedianya memasukkan unsur cerita, menunjukkan suatu lukisan, mendesain sesuatu, dan menampilkan cerita yang berisi gambar untuk menunjang perkembangan polo pikir anak-anak yang kreatif dan inovatif.
Multimedia dalam pendidikan dapat didefinisikan sebagai berbagai perangkat elektronik dan teknologi yang digunakan oleh guru dan siswa untuk meningkatkan minat, mendapatkan pengalaman, dan mendapatkan pengetahuan. Yang termasuk multimedia dapat berupa  media cetak seperti surat kabar, majalah, jurnal dan buku. Media elektronik termasuk televisi, Radio, Slide, CD Rom, Proyektor, CD, DVD dan media interaktif seperti ponsel dan internet. Multimedia menggabungkan lima tipe dasar media ke dalam lingkungan belajar, seperti: teks, video, suara, grafis dan animasi, sehingga memberikan alat baru yang kuat untuk pendidikan (Nwanekezi, A.U & Kalu, N.E: 2012, hlm. 207)
                Sekarang ini, penggunaan multimedia di kelas-kelas bahasa sudah umum. Banyak guru bahasa yang menyatakan bahwa suasana kelas multimedia menciptakan suasana kelas yang lebih aktif, menarik dan menyenangkan dibandingkan dengan kelas yang berorientasi pada guru (Amine, dkk. 2012, hlm. 64). Selaras dengan ini, Neo dkk (2012, hlm. 50) menyatakan bahwa multimedia adalah teknologi baru yang lebih berorientasi pada siswa sehingga dalam kelas multimedia, siswa mampu untuk menjadi lebih kreatif dan berpikiran kritis, pemecah masalah dan mampu berkolaborasi dengan teman-temannya. Sistem pembelajaran multimedia juga menawarkan hal yang mampu untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang bahasa (Gilakjani: 2012, hlm. 57)


Keuntungan Menggunakan Multimedia dalam Pembelajaran di Kelas

Ada beberapa keuntungan yang didapat dari penggunaan multimedia dalam pembelajaran bahasa di dalam kelas yaitu penggunaan multimedia akan menarik perhatian siswa dengan gambar bergeraknya. Dengan multimedia, siswa akan disuguhkan media pembelajaran yang interaktif dan menyenangkan. Sejalan dengan ini, Andressen & Brink (2013) memaparkan beberapa keuntungan penggunaan multimedia dalam proses pembelajaran. Mereka mengungkapkan bahwa multimedia sangat menolong dalam pendidikan karena karakteristinya yang interaktif, fleksibel dan integrasi dari media yang berbeda dapat mendukung proses belajar dan membantu siswa untuk meningkatkan motivasinya dalam belajar. Lebih jauh lagi, Mayer (2005) dalam jurnal SEG Research menyatakan keuntungan dari penggunaan multimedia dalam kelas, bahwa narasi dan video lebih efektif dibandingkan narasi dan teks. Menurut Mayer (2009, hlm. 25), Multimedia menawarkan kemungkinan proses belajar yang menarik untuk memenuhi kebutuhan peserta didik abad ke-21. Penggunaan instruksi multimedia secara signifikan dapat meningkatkan pembelajaran siswa jika dirancang dan dilaksanakan dengan baik. Joshi (2012) menambahkan bahwa dengan menggunakan multimedia dalam proses belajar di kelas, guru dapat memberikan lebih banyak kesempatan untuk siswa untuk mengekspresikan pendapat mereka dan menikmati proses belajarnya. Penggunaan multimedia juga dapat memberikan motivasi juga membawa aspek positif kepada siswa sehingga mereka dapat meningkatkan keterampilan mereka. Lebih jauh Hoffner, dkk (2008, hlm. 576) menyatakan bahwa penggunaan multimedia berupa video dan teknologi DVD selain meningkatkan kemampuan membaca dan menulis juga mampu untuk menyediakan stimulus pembelajaran yang memotivasi.
Penggunaan multimedia berupa video animasi efektif dalam meningkatkan siswa dalam menyimak cerita dan juga dalam menulis karangan (Jamni: 2015, hlm. 373).  
Menurut Mayer (2009, hlm. 116), multimedia, dengan penambahan ilustrasi pada teks atau penambahan gambar bergerak atau video atau animasi pada narasi akan dapat membantu siswa untuk lebih memahami materi atau penjelasan yang disajikan. Mayer (2009, hlm. 117) menjelaskan lebih jauh bahwa suatu pembelajaran akan lebih mendalam jika murid mampu untuk memadukan representasi verbal dan representasi pictorial atau gambar dari pesan yang sama. Pengaruh multimedia menunjukkan bahwa pembelajaran siswa dapat ditingkatkan ketika gambar ditambahakan pada kata-kata atau ketika materi disajikan dalam dua bentuk.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Edwards, Williams, dan Roderick (1968) dalam Munir (2013, hlm. 22) tentang penggunaan multimedia dalam proses pembelajaran menunjukkan hasil siswa dalam kelompok eksperimen yang menggunakan multimedia dalam pembelajarannya berhasil memperoleh hasil yang lebih baik daripada siswa pada kelas kontrol yang menggunakan media tradisional dalam proses pembelajarannya.
Penggunaan multimedia menurut Nwanekezi, A.U & Kalu, N.E (2012, hlm. 209) sesuai dengan usia anak sekolah dasar yang berada pada tahap formatif individu dimana pada tahap ini, proses pembelajaran dengan menggunakan audio dan tayangan visual akan memberikan efek yang tahan lama pada pengembangan pendidikan anak.
Multimedia memberikan pengalaman multi-indera yang kompleks, menyajikan informasi melalui teks, grafis, gambar, audio, dan video. Telah terbukti bahwa perpaduan kata-kata dan gambar selalu mengintegrasikan sejumlah besar informasi (Mayer, 2001: hal 55). Salah satu keuntungan dari multimedia adalah memiliki kemampuan untuk memilih sajian informasi yang terstruktur dengan baik (Larkin dan Simon, 1987: hal 65), dengan menggunakan beberapa representasi untuk meningkatkan memori (Penny, 1989: hal. 398), mendorong pengolahan aktif (Ainsworth, 1999: hal 145), dan penyajian informasi lebih lanjut sekaligus (Sweller, 2005: hal 38). Multimedia juga memberikan kesempatan belajar melalui eksplorasi, penemuan, dan pengalaman. (Dalacosta, dkk:2009, hlm. 742). Dengan multimedia, proses pembelajarannya menjadi lebih berorientasi pada tujuan, dan siswa juga lebih aktif berpartisipasi. Multimedia menjadikan proses pembelajaran berlangsung dengan menyenangkan dan bersahabat, tanpa ada rasa takut gagal (Amine, dkk. 2012, hlm. 66)
Keuntungan multimedia yang lain adalah berbiaya relatif rendah. Dengan penggunaan multimedia, guru dapat menghemat beberapa macam media dalam satu bentuk multimedia. Sebagai contoh untuk memberikan pengalaman tentang berbagai macam hewan dengan berbagai jenis dan karakter, guru tidak perlu mengajar siswa untuk pergi ke kebun binatang. Guru dapat membawa berbagai jenis hewan itu ke dalam kelas dengan menggunakan multimedia berupa video. Inilah salah satu keunggulan program multimedia yang dapat menggabungkan teks, audio, video, dan grafis animasi dengan cara yang mudah untuk digunakan. Atakli (2012, hlm. 796) menyatakan bahwa multimedia selain mudah untuk digunakan juga efektif untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.  Selain itu, dalam kondisi kekurangan dana pun, multimedia dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dengan biaya yang rendah. Di sinilah kekuatan multimedia dapat memberikan manfaat jangka panjang (Mayer, dkk. 1998, hlm. 28). Lebih jauh Sharma (2013, hlm 13) menyatakan bahwa sekarang ini penggunaan multimedia lebih mudah didapatkan, lebih cepat, lebih murah, mudah dibawa dan lebih cocok untuk pembelajaran di kelas.
Permasalahan kelas yang besar pun dapat teratasi dengan penggunaan multimedia dalam kelas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nusir, dkk (2012, hlm. 28) didapatkan hasil bahwa selain menawarkan pembelajaran yang realistis dan kontekstual, multimedia juga mampu untuk mengontrol proses pembelajaran di kelas besar dengan murid yang banyak. Dalam hal ini Margi & Liu (1996) dalam Nusir, dkk (2012, hlm. 18) menyatakan bahwa multimedia memiliki potensi untuk menciptakan lingkungan pembejaran dengan kualitas tinggi sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang efektif bahkan bagi kelas besar.
Keunggulan multimedia yang lain adalah multimedia bersifat fleksibel. Multimedia tidak hanya dapat digunakan di kelas, juga dapat digunakan setelah kelas. Multimedia juga mampu untuk menciptakan pembelajaran yang bersifat student-centered dimana siswa dapat lebih berperan aktif dalam proses pembelajarannya (Yang & Fang: 2008, hlm. 138)

Penggunaan multimedia juga diyakini mampu menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan. Multimedia berupa video menurut Hebert & Peretz (1997) dalam Berk (2009, hlm. 3) mampu menyeimbangkan kedua belah otak, kiri dan kanan. Dalam multimedia terdapat gabungan gambar atau imej, efek suara, monolog/dialog, melodi, dan hubungan harmoni. Belahan otak kiri memproses dialog, ritmis dan lirik sedangkan belahan kanan memproses gambar atau imej, efek suara, melodi dan hubungan harmoni. Dengan paripurnanya multimedia dalam menyajikan apa yang diproses belahan otak kiri dan kanan, maka diyakini multimedia mampu menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri.

Pengertian Multimedia

Konsep dari multimedia didefinisikan dalam berbagai macam definisi. Pada intinya karakteristik dari multimedia itu terdiri dari teks, grafik, animasi, video dan suara (Eristi: 2012, hlm. 131), (Richard (2000) dalam Ampa, dkk:2013, hlm. 295), dan (Andressen & Brink: 2013).
Menurut Mayer (2009: hlm. 7-10) ada tiga pandangan tentang pesan-pesan multimedia. Jadi istilah multimedia dapat ditilik dalam tiga pandangan yaitu sebagai media pengiriman, mode presentasi dan modalitas sensori. Berdasarkan media pengiriman, multimedia diartikan sebagai presentasi materi dengan menggunakan dua atu lebih alat pengiriman dan sistem fisik yang digunakan untuk menyampaikan pesannya adalah layar komputer, pengeras suara, proyektor, video recorder, papan tulis, dan kotak suara manusia. Dalam multimedia berbasis komputer, materinya dapat disajikan melalui layar proyektor dan pengeras suara.
Berdasarkan mode presentasi, multimedia diartikan sebagai presentasi materi dengan menggunakan dua atau lebih mode presentasi. Dalam hal ini ditekankan bagaimana materi disajikan dan bagaimana kata dan gambar digunakan untuk mendukung presentasi. Dalam multimedia berbasis komputer, materi dapat disajikan secara verbal sebagai narasi dan menampilkan gambar sebagai grafik statis atau video.
Berdasarkan modalitas sensori, multimedia melibatkan dua atau lebih alat indera dari pemirsa atau siswa. Dalam multimedia berbasis komputer, animasi atau video dapat ditangkap secara visual dan auditori.
Jadi,  multimedia adalah presentasi materi dengan menggunakan kata-kata sekaligus gambar, materinya disajikan dalam bentuk gambar dan verbal, misalnya menggunakan gambar yang disajikan secara verbal sebagai narasi dan menampilkan gambar sebagai grafik statis atau video dan presentasi berupa gambar atau video dapat ditangkap secara visual dan auditori.
Steinmetz (1995, hlm 2) menyebutkan multimedia adalah gabungan dari seminimalnya sebuah media diskrit dan sebuah media kontinu. Media diskrit adalah sebuah media dimana validitas datanya tidak tergantung dari kondisi waktu, termasuk didalamnya teks dan grafik. Sedangkan yang dimaksud dengan media kontinu adalah sebuah media dimana validitas datanya tergantung dari kondisi waktu, termasuk di dalamnya suara dan video.
Reddi (2003) dalam Munir (2013, hlm. 3) mengartikan multimedia sebagai suatu integrasi elemen beberapa media (audio, video, teks, animasi dan sebagainya) menjadi suatu kesatuan yang memberikan hasil lebih menguntungkan bagi pengguna dibandingkan penggunaan secara individual.
Menurut Gayeski (1993) dalam Munir (2013, hlm. 2), multimedia adalah kumpulan media berbasis komputer dan sistem komunikasi yang memiliki peran untuk membangun, menyimpan, menghantarkan dan menerima informasi dalam berntuk teks, grafik, audio, video, dan lain-lain.
Multimedia dapat dilihat sebagai sarana belajar dan sarana komunikasi. Dalam situasi belajar, produk multimedia dan layanan online dapat digunakan secara kreatif dan reflektif. Selanjutnya, multimedia dapat digunakan untuk mendorong materi pembelajaran dan topik lintas-kurikuler (Andressen & Brink:2013)
Menurut Munir (2013: hlm. 3), multimedia dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
a. Multimedia berbentuk network-online dan offline. Multimedia network-online berupa internet sedangkan multimedia offline dapat berupa harddisk, CD atau DVD ROM, alat input (keyboard, mouse, mic) dan alat output (pengeras suara, LCD, proyektor).
b. Multimedia linier dan multimedia interaktif. Multimedia linier adalah multimedia yang tidak dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioprasikan oleh pengguna, seperti film atau video. Multimedia interaktif multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioprasikan oleh pengguna, seperti video interaktif atau aplikasi games.
c. Multimedia bukan temporal (non-temporal multimedia) dan multimedia temporal (temporal multimedia). Non-temporal multimedia terdiri dari teks, gambar, dan grafiks. Temporal multimedia berupa audio, video dan animasi.


Pendekatan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Rahayu (2016: hlm, 19) menyatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Dasar. Pendekatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
a.                   Pembelajaran Bahasa Menyeluruh (Whole Language)
Whole Language Approach adalah suatu pendekatan terhadap pembelajaran bahasa secara utuh. Artinya, dalam pengajaran bahasa kita mengajarkannya secara kontekstual, logis, kronologis dan komunikatif serta menggunakan seting yang nyata dan bermakna. Pendekatan Whole Language Approach  terdapat hubungan yang interaktif antara yang mendengarkan dan yang berbicara, antara yang membaca dan yang menulis. Belajar bahasa harus terinteraksi ke dalam bahan terpisah dari semua aspek kurikulum. Artinya, pembelajaran bahasa yang terpadu dengan perkembangan motorik, sosial, emosional, dan kognitif juga pengalaman anak, media dan lingkungan anak.

Menurut pendapat Goodman (1986, hlm. 26-31) Whole language ditopang empat landasan dasar, yaitu (1) teori belajar, (2) teori kebahasaan, (3) pandangan dasar tentang pengajaran, dan (4) peranan guru serta pandangan kurikulum bahasa. Menurut Ellis (1993) dalam Sudin (2007, hlm. 1), filsafat Whole language ini berdasar pada premis bahwa manusia belajar bahasa melalui penggunaannya secara alami atau nyata dan utuh (keseluruhan) untuk satu tujuan bukan melalui bagian-bagian yang terpisah, yang difokuskan pada keterampilan. Oleh karena itu, kurikulum yang menyandarkan filosofisnya pada whole language, tidak lagi mengajarkan bahasa secara terpisah, melainkan dikemas dalam pembelajaran yang utuh dan menyeluruh.

b.                  Pembelajaran Keterampilan Proses
Pembelajaran keterampilan proses adalah pembelajaran dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan sehingga siswa mampu menemukan dan mengembangkan fakta dan konsep serta menumbuhkembangkan sikap dan nilai. Langkah-langkah kegiatan keterampilan proses diantaranya mengobservasi atau mengamati, termasuk di dalamnya: menghitung, mengukur, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang atau waktu, membuat hipotesis, merencanakan penelitian atau eksperimen, mengendalikan variabel, menginterpretasikan atau menafsirkan data, menyusun kesimpulan sementara, meramalkan, menerapkan dan mengkomunikasikan.
Pendekatan keterampilan proses adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang terfokus pada keterlibatan peserta secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan hasil belajar. Keterampilan proses ini meliputi keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik. Menurut pendekatan proses, peserta didik tidak hanya diberikan materi apa harus dipelajari, tapi juga belajar bagaimana cara mempelajarai bahasa itu sendiri.

c.                   Pembelajaran aktif, kreatif, efektif, menyenangkan (PAKEM/Joyfull   Learning)

PAKEM adalah pembelajaran yang menciptakan variasi kondisi eksternal dan internal dengan melibatkan siswa secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga pembelajaran lebih bermakna. Dalam hal ini perlu diciptakan suasana yang demokratis dan tidak ada beban baik bagi guru maupun siswa dalam melakukan proses pembelajaran. Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang menyenangkan guru harus mampu merancang pembelajaran dengan baik, memilih materi yang tepat, serta memilih dan mengembangkan strategi yang dapat melibatkan siswa secara langsung dan optimal.

Tujuan dan Fungsi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Suyono (1990, hlm. 45) menyatakan bahwa “fungsi utama bahasa adalah alat komunikasi, karena itu pengajaran bahasa didasarkan pada fungsi komunikatif bahasa”. Komunikasi yang dimaksud adalah suatu proses menyampaikan maksud kepada orang lain dengan menggunakan saluran tertentu. Komunikasi dapat berupa pengungkapan pikiran, gagasan, ide, pendapat, persetujuan, keinginan, penyampaian informasi suatu peristiwa. Hal itu disampaikan dalam aspek kebahasaan berupa kata, kalimat, frase, paragrap, ejaan dan tanda baca dalam bahasa tulis, serta unsur-unsur prosodi (intonasi, nada, irama, tekanan, dan tempo) dalam bahasa lisan (Naylor, 1987, hlm. 22).

Tujuan utama pengajaran bahasa penguasaan kompetensi dan kemampuan berkomunikasi (Suyono:1990, hlm. 45). Sesuai dengan arahan Depdikbud, bahwa fungsi dan tujuan dari pembelajaran Bahasa Indonesia adalah untuk meningkatkan kompetensi komunikatif sehingga siswa mampu untuk berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia secara lisan dan tulisan (Suparti: 2007, hlm. 28). Sesuai dengan Permendiknas No. 22/Tahun 2006 tentang standar isi mata pelajaran Bahasa Indonesia SD/MI bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Masrup: 2012, hlm. 144)


Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Mampu untuk berkomunikasi adalah tujuan dari pembelajaran bahasa. Dengan adanya pembelajaran bahasa diharapkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dapat meningkat. Pembelajaran bahasa di sekolah dasar juga diarahkan untuk mempertajam kepekaan siswa terhadap segala peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan secara lugas atau secara langsung, melainkan juga yang disampaikan secara terselubung atau tidak langsung. (Depdikbud,1991, hlm. 12-15).

Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar saat ini telah mencakup seluruh aspek kebahasaan, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Menurut Goodman (1984) dalam Suparti (2007, hlm. 28), siswa akan lebih mudah belajar bahasa jika pembelajarannya bersifat nyata, relevan, kontekstual dan bermakana. Dengan paripurnanya pembelajaran Bahasa Indonesia diharapkan siswa mampu untuk berkomunikasi secara efektif, menggunakan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi formal, memahami Bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat, serta bangga menjadikan Bahasa Indonesia sebagai budaya Indonesia.

Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia dirumuskan karena, diharapkan mampu menjadikan: (1) siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesusastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri, (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya, (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dengan sumber belajar yang tersedia, dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (BSNP:2006).


Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Menurut skinner (1985) dalam Nugroho dan Priatna (2016:153), belajar merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang berkembang terus menerus.

Hakikat belajar ditandai oleh adanya perubahan tingkah laku pada siswa. Menurut Muryati & Kusumaningsih (2011, hlm. 9) Tingkah laku belajar dapat diidentifikasikan sebagai berikut: (1) Perubahannya bersifat konsisten, kontinyu, dan fungsional, (2) Aktivitasnya dilakukan dengan sadar, (3) Perubahan bersifat aktif dan positif, (4) Perubahan bukan merupakan proses kematangan, pertumbuhan, dan perkembangan, dan (5) Perubahan tersebut terarah dan bertujuan.

Suryabrata (1980:19) menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses belajar dimana didalamnya terdapat interaksi, bahan dan penilaian. Sedangkan tentang pengertian belajar banyak para ahli pendidikan berbeda-beda dalam memberikan definisi belajar tersebut. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam mengidentifikasi fakta serta perbedaan dalam menginterprestasikannya. Dalam pembelajaran di kelas guru mengajarkan Bahasa Indonesia sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar dan standar kompetensi yang telah ditentukan.


Tujuan Menulis Deskripsi

Menurut Keraf (1981: hlm, 95-96), berdasarkan tujuannya, tulisan deskripsi dibedakan menjadi dua macam deskripsi, yaitu deskripsi sugestif dan deskripsi teknis atau deskripsi ekspositoris.
Dalam deskripsi sugestif, penulis bermaksud menciptakan sebuah pengalaman pada diri pembaca, pengalaman karena perkenalan langsung dengan objeknya. Pengalaman atas objek itu harus menciptkan sebuah kesan atau interpretasi. Sasaran deskripsi sugestif adalah dengan perantaraan tenaga rangkaian kata-kata yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan sifat, ciri dan watak dari objek tersebut, dapat diciptakan sugesti tertentu pada pembaca.  Deskripsi sugestif berusaha untuk menciptakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut melalui imajinasi para pembaca. Deskripsi ekspositoris atau deskripsi teknis hanya bertujuan untuk memberikan identifikasi atau informasi mengenai objeknya, sehingga pembaca dapat mengenalnya bila berhadapan atau bertemu dengan objek tersebut. Penulis tidak menciptakan kesan atau imajinasi pada diri pembaca.
            Menurut Perutz (2010, hlm. 14) tujuan dari tulisan deskripsi adalah: (1) untuk menjelaskan kejadian, (2) untuk menjelaskan ciri-ciri atau karakteristik dan fungsi, dan (3) untuk meringkas poin-poin yang utama.
            Huy (2015, hlm. 55) menyatakan tujuan dari tulisan deskripsi adalah untuk mengkreasi ulang atau menjelaskan secara visual tentang seseorang, tempat, kejadian, atau kegiatan sehingga pembaca dapat membayangkan hal yang dijelaskan oleh penulis.

            McLean (2012, hlm. 495) menyebutkan tujuan tulisan deskripsi adalah untuk meyakinkan pembacanya agar terbenam dalam kata-kata yang ada dalam tulisan. Dalam tulisan deskripsi, penulis harus menggambarkan objek yang dijelaskannya sehingga semua panca indera pembaca seperti penglihatan, pendengaran, pengecap, penciuman dan sentuhan dapat terlibat.

Menulis Deskripsi

Menurut Keraf (1981: hlm, 93), deskripsi atau pemerian merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian dengan usaha para penulis untuk memberikan perincian-perincian dari objek yang sedang dibicarakan. Kata deskripsi berasal dari kata Latin describere yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu hal. Osbourne (2008, hlm. 2) menyatakan bahwa menulis deskripsi adalah menjelaskan sesuatu dan dalam menjelaskan esensi dari sesuatu yang dijelaskan, tulisan deskripsi menggunakan tiap detail dari lima panca indera untuk menyampaikannya kepada pembaca. Sedangkan McCarthy (1998, hlm. 5) menyatakan bahwa tulisan deskripsi adalah kegiatan penulisan yang mengembangkan gambar atau imej ke dalam bentuk kata dan frase yang melibatkan panca indera dengan tepat.
Dalam menulis karangan deskripsi penulis memindahkan kesan-kesannya, memindahkan hasil pengamatan dan perasaannya pada pembaca. Penulis menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada suatu objek.
Sasaran yang ingin dicapai oleh penulis deskripsi adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya daya khayal pada para pembaca, seolah-olah mereka melihat sendiri objek secara keseluruhan sebagai yang dialami secara fisik oleh penulisnya. (Keraf: 1981: hlm, 93)

McLean (2012, hlm. 496) menambahkan bahwa tulisan deskripsi adalah tulisan yang menggambarkan seseorang, sebuah tempat, atau sebuah objek dengan melibatkan panca indera. 

Tujuan Menulis

Menurut Semi (2007: hlm. 14) tujuan menulis antara lain: (1) untuk menceritakan sesuatu, (2) untuk memberikan petunjuk atau pengarahan, (3) untuk menjelaskan sesuatu, (4) untuk meyakinkan, dan (5) untuk merangkum. Sedangkan menurut Elina, Zulkarnaini, dan Sumarno (2009: hlm. 6) tujuan menulis adalah: (1) menginformasikan, (2) membujuk, (3) mendidik, (4) menghibur.
Menurut Tarigan (1994: hlm. 23), tujuan menulis adalah sebagai respons atau jawaban yang diharapkan oleh penulis dari pembaca. Berdasarkan batasan tersebut, maka tujuan menulis meliputi hal-hal berikut:
1.      tulisan yang bertujuan untuk memberitahukan atau mengajarkan disebut wacana informasi (informative discourse);
2.      tulisan yang bertujuan untuk meyakinkan atau mendesak disebut wacana persuasif (persuasive discourse);
3.      tulisan yang bertujuan menghibur atau menyenangkan atau yang mengandung tujuan estetik disebut tulisan literer (wacana kesusastraan atau literary discourse);
4.      tulisan yang mengekspresikan perasaan dan emosi yang kuat dan berapi-api disebut wacana ekspresif (ekspressive diacourse)”.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan seseorang menulis yaitu untuk memberitahukan, meyakinkan, menghibur, dan sebagai ungkapan perasaan melalui sebauah tulisan.
Selanjutnya, Hartig dalam Tarigan (1994: hlm 24) mengemukakan tujuan menulis sebagai berikut:
1.      assigment purpose (tujuan penugasan), yaitu menulis yang dilakukan untuk tujuan menyelesaikan tugas buka atas kemauan sendiri;
2.      altrustic purpose (tujuan altruistik), bertujuan untuk menyenangkan para pembaca, ingin menolong para pembaca memahami, menghargai perasaan dan penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan menyenangkan dengan karyanya itu;
3.      persuasive purpose (tujuan persuasif), yaitu tulisan yang bertujuan meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan;
4.      informational purpose (tujuan informasional, tujuan penerangan), yaitu tulisan yang bertujuan memberi informasi atau keterangan/penerangan kepada para pembaca;
5.      self-ekspresive (tujuan pernyataan diri), yaitu tulisan yang bertujuan memperkenalkan atau menyatakan diri sang pengarang kepada para pembaca;
6.      creative purpose (tujuan kreatif), yaitu tulisan yang bertujuan mencapai nilai-nilai artistic, nilai-nilai kesenian;

7.      problem-solving purpose (tujuan pemecahan masalah), yaitu keinginan penlis untuk memecahkan masalah dengan menjelaskan, menjernihkan, menjelajahi serta meneliti secara cermat pikiran-pikiran dan gagasan sendiri agar dapat dimengerti dan diterima oleh para pembaca.

Keterampilan Menulis


Keterampilan menulis adalah salah satu keterampilan yang harus dikuasai. Dengan keterampilan menulis yang cakap seseorang dapat mengungkapkan pikiran dan gagasannya untuk maksud dan tujuannya. Dalam menulis siswa memiliki tugas untuk menyusun kata dan kalimat dengan tepat agar tulisannya dapat dipahami oleh pembaca dengan jelas. Keterampilan menulis merupakan salah satu jenis keterampilan yang harus dimiliki siswa karena kemampuan menulis berpengaruh terhadap pembentukan kemampuan berbahasa lain, yaitu membaca, menyimak, dan berbicara.
            Keterampilan menulis tidak dapat dicapai dengan mudah. Untuk mendapatkan keterampilan menulis yang baik diperlukan latihan yang intens dan berkelanjutan. Latihan menulis itu banyak bentuknya. Seperti yang disampaikan oleh Hartati dan Cuhariah (2015: hlm, 167), berikut adalah beberapa ragam latihan menulis yang dapat dilakukan oleh siswa, yaitu: latihan menyalin, dikte/ imla, melengkapi dan mencocokan gambar dengan tulisan, dan mengarang sederhana.
Zuchdi dan Budiasih (1996: hlm, 62) menjelaskan bahwa kemampuan menulis merupakan jenis kemampuan berbahasa tulis yang bersifat produktif, yaitu menghasilkan tulisan. Menulis memerlukan kemampuan kompleks, yaitu kemampuan berpikir secara teratur dan logis, kemampuan mengungkapkan gagasan secara jelas dengan menggunakan bahasa yang efektif, dan kemampuan menerapkan kaidah tulis-menulis dengan baik. Kemampuan ini meliputi diksi, ejaan, kaidah kebahasaan dan sistematika penulisannya.
Suriamiharja, dkk (1996: hlm, 1), mengemukakan bahwa keterampilan menulis adalah kemampuan seseorang dalam melukiskan lambang grafik yang dimengerti oleh penulis bahasa itu sendiri maupun orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis adalah keterampilan seseorang dalam menyampaikan pesan, ide atau gagasan secara tertulis agar dapat dimengerti oleh orang lain.


Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar

Pembelajaran menulis di SD dilaksanakan sejak kelas satu sampai dengan kelas enam. Kegiatan menulis tidak dapat terlepas dari kegiatan bahasa lainnya seperti kegiatan membaca, menyimak dan berbicara. Pada pelaksanaan pembelajaran guru harus dapat memadukan keempat unsur kebahasaan tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Rofi’udin dan Zuchdi (1998: hlm, 80-81), mengungkapkan bahwa pembelajaran menulis di SD dibagi menjadi dua kategori yaitu pramenulis dan menulis.
1) Pramenulis meliputi:
a) melemaskan lengan dan menulis di udara,
b) memegang pensil dengan benar,
c) melemaskan jari dengan mewarnai, menjiplak, dan melatih
dasar menulis,
d) melemaskan jari dengan cara menuliskan huruf di pasir, di meja,
dan di udara.

2) Pembelajaran menulis permulaan meliputi:
a) penulisan huruf,
b) penulisan kata,
c) penggunaan kalimat sederhana,
d) tanda baca (huruf kapital, titik, koma, tanda tanya).
           

            Byrne (1988, hlm. 129-130) mengemukakan beberapa alasan mengapa anak-anak di usia sekolah dasar perlu diajarkan menulis. Berikut adalah beberapa alasan penting mengapa anak-anak perlu untuk diajarkan menulis, yaitu: (1) anak-anak biasanya menyukai menulis, (2) banyak anak-anak yang berharap untuk diajarkan menulis, (3) anak-anak memerlukan berhenti sementara dari kegiatan oral, (4) kegiatan menulis memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk bekerja sesuai dengan kecepatan yang mampu mereka jalankan sehingga mereka mendapatkan kegiatan yang membuat mereka merasa nyaman, (5) kegiatan menulis terkadang membantu anak yang kesulitan ketika menghadapi pembelajaran berbicara, (6) kegiatan menulis memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mendapatkan kontak secara personal dengan gurunya sehingga anak dapat bebas untuk melakukan kontak dengan gurunya, (7) penting bagi anak-anak untuk memiliki catatan tentang apa yang telah mereka lakukan di kelas, (8) anak-anak membutuhkan kontak bahasa yang lebih, dalam hal ini kegiatan menulis mampu untuk menyediakannya, dan (9) penting bagi anak-anak untuk memperlihatkan apa yang telah mereka lakukan di kelas melalui tulisan kepada orangtua mereka.

Hakikat Menulis

Menulis dapat dikatakan sebagai kegiatan yang membentuk simbol-simbol. Tetapi menulis lebih dari sekedar memproduksi simbol grafis, seperti berbicara yang diartikan bukan hanya sebagai produksi suara. Simbol-simbol ini harus disusun, berdasarkan konvensi tertentu, untuk membentuk kata-kata dan kata-kata disusun untuk membentuk kalimat.
Secara sederhana hakikat menulis, yaitu menuangkan ide atau pikiran secara tertulis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia., “menulis adalah menyusun suatu cerita buku dan sebagainya. (Alwi, dkk. 2003: 506). Sejalan dengan pengertian di atas, Learner (dalam Abdurrahman, 1996: 192) mengemukakan,bahwa “ menulis atau mengarang adalah mengemukakan ide dalam bentuk visual.” Lebih jauh, Sumarmo (1989, hlm. 7) mengemukakan, bahwa “menulis adalah mengungkapkan bahasa dalam bentuk simbol gambar.”
Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan berkomunikasi atau penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai medianya (Suparno dan Yunus: 2003, hlm 3). Menurut Akhadiah (1998, hlm. 3), menulis adalah suatu aktifitas bahasa yang menggunakan tulisan sebagai medianya.
Menulis dapat diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide atau gagasan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai media penyampai (Tarigan, 1986: hlm, 15). Menulis, menurut McCrimmon (dalam Saddhono dan Slamet: 2014, hlm, 151), merupakan kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu objek, memilih hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah dan jelas.
Slamet (2008: hlm, 72) mengemukakan kemampuan menulis yaitu kemampuan berbahasa yang bersifat produktif; artinya, kemampuan menulis ini merupakan kemampuan yang menghasilkan; dalam hal ini menghasilkan tulisan.
Menurut Solehan, dkk (2008: hlm, 94) kemampuan menulis bukanlah kemampuan yang diperoleh secara otomatis. Solehan menjelaskan bahwa kemampuan menulis seseorang bukan dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh melalui tindak pembelajaran. Berhubungan dengan cara pemerolehan kemampuan menulis, seseorang yang telah mendapatkan pembelajaran menulis belum tentu memiliki kompetensi menulis dengan andal tanpa banyak latihan menulis.
Menurut Nurgiyantoro (2014: hlm, 422), aktivitas menulis merupakan sebuah bentuk manifestasi kompetensi berbahasa paling akhir dikuasai pembelajar bahasa setelah kompetensi menyimak, berbicara dan membaca. Dibandingkan ketiga kompetensi bahasa tersebut, kompetensi menulis dapat dikatakan lebih sulit untuk dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal ini disebabkan karena kompetensi menulis menghendaki penguasaaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi dari tulisan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi pesan harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan tulisan yang runtut, padu dan berisi.
Kegiatan menulis menghendaki orang untuk menguasai lambang atau simbol-simbol visual dan aturan tata tulis, khususnya yang menyangkut masalah ejaan. (Nurgiyantoro:2014, hlm, 423)
Pada dasarnya menulis itu bukan hanya melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu dan pengalaman hidup seseorang dalam bentuk bahasa tulis. Oleh karena itu, menulis bukanlah merupakan kegiatan yang sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi harus dikuasai.

Penguasaan terhadap menulis berarti keterampilan untuk mengetahui dan memahami struktur bahasa yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Keterampilan tersebut adalah sebagian dari persyaratan keterampilan menulis seseorang untuk mengetahui, memahami, dan menggunakan unsur-unsur kata, kalimat, paragraf, serta tata tulis menulis.(Saddhono dan Slamet:2014, hlm, 153)