Dulu, semasa aku duduk
di bangku kuliah, aku adalah salah satu kader sebuah partai dakwah yang saat
itu sedang naik daun. Aku adalah kader yang aktif yang menghabiskan banyak
waktu, tenaga dan uangku untuk ikut serta memajukan partai dakwah ini. Sealin aktif
sebagai kader partai aku juga aktif sebagai aktivis BEM di Universitasku.
Untuk menunjang
keaktifanku di partai dan kampus, aku pun menghadiri halaqoh satu minggu sekali
untuk menunjang ruhiahku. Hampir tak pernah aku alpa menghadiri halaqoh
pekananku. Aku hanya tidak menghadiri halaqoh jika aku memang benar-benar sakit
atau ada urusan ‘syar’i’ yang tidak bisa ditinggalkan.
Setelah aku lulus kuliah
dan mendapatkan kerja sebagai PNS, intensitasku sebagai kader partai dan
aktivis dakwah mulai mengendur. Aku sudah mulai jarang mengikuti halaqoh
pekanan. Ditambah lagi setelah aku berganti murobiah semakin rasa malas
menerjangku. Setelah menikah aku sudah tidak lagi menghadiri halaqoh pekanan
dan juga aku sudah melupakan perananku sebagai kader partai. Ditambah lagi
sikap suamiku yang tidak mengizinkanku untuk berpolitik. (Kisah yang dialami oleh salah satu sahabat baikku sejak masa kuliah)
Dunia kampus ternyata
sangat jauh berbeda dengan dunia kerja. Begitupun keadaaan saat masih sendiri
sangat jauh berbeda dengan keadaan menikah. Ketika kita masih berada di kampus,
kita merasa bahwa energy kita sangatlah besar, kita merasa bahwa kita mampu
untuk menggenggam dunia. Tetapi setelah memasuki dunia kerja, kita merasa energy
kita sangatlah terbatas, kita terbebani oleh masalah-masalah yang ada dikerjaan
kita sehingga kita merasa tidak lagi memiliki tenaga untuk mengurusi hal-hal
lain selain pekerjaan kita. Pun ketika kita sudah menikah, kita tidak bisa lagi
memutuskan hal berdasarkan diri kita sendiri. Kita harus selalu mendiskusikan
banyak keputusan dengan pasangan kita. Terlebih jika kita adalah seorang istri
yang harus taat kepada suami. Ketika suami tidak mem[erbolehkan kita untuk
berpolitik, maka kita pun ‘harus’ mentaatinya.
Disaat kita menyadari
bahwa kita butuh untuk berhalaqoh, butuh pegangan yang kuat pada tali Alloh
ternyata sulit sekali untuk mendapatkan kembali komunitas yang dulu telah kita
tinggalkan. Kita merasa sulit untuk memulai kembali aktivitas yang dulu kita
ikuti. Kita merasa terhalangi oleh banyak hal untuk kembali memulai. Banyak
sekali hal yang seolah-olah menjadi pembenaran bagi kita untuk tidak menjadi
aktivis dakwah ataupun kader dakwah.
Ini cerita yang sangat
berbeda dengan cerita di atas. Ini adalah kisah dari seorang murobiah yang
subhanalloh tidak terkesan pernah ada rasa lelah dalam diri beliau untuk
menjadi aktivis dakwah dan seorang kader dakwah. Beliau adalah istri seorang
anggota legislatif yang berasal dari partai dakwah. Karena beliau istri seorang
aleg maka beliau pun aktif sebagai PKK kota. Beliau pun masih sangat aktif
beraktivitas dikala beliau sedang hamil besar. Beliau masih aktif di DPD dan
juga masih mengurusi dakwah remaja di daerah kecamatan kami. Hamil besar anak
keempat dan sibuk mengurusi 3 anak yang lainnya tidak menjadikannya
mencari-cari alasan untuk tidak aktif dalam dunia dakwah ini.
Menurut saya semuanya
kembali pada tekad kita dan juga ‘support’ dari pasangan kita untuk terus
berjuang dalam dakwah ini. Dan tidak menjadikan kelemahan kita untuk tidak
terus berjuang dalam berdakwah. Wallahu’alam … ^_^…
No comments:
Post a Comment