Sungguh ilmu ikhlas itu
tidak ada gurunya, tidak ada kelasnya, tidak ada silabus ataupun kurikulumnya. Nilai
keikhlasan itu hanya Alloh saja yang bisa menilainya. Apakah kita lulus atau
tidak lulus dalam ujian keikhlasan. Tapi yang bisa dirasakan sungguh untuk bisa
ikhlas itu sangat sulit sekali.
Hari itu, hari minggu,
hari pertama kami para kader dan simpatisan PKS berkampanye di daerah kami. Kami
berkampanye dengan mengadakan posko kesehatan di sebuah lapang. Beberapa kader
yang mempunyai kelebihan uang pun memborong dagangan beberapa orang pedagang
sehingga menggelar jajanan gratis.
Saat itu ada segerobak
dagangan berupa cilok yang menjadi salah satu jajanan yang digratiskan. Dengan segera
saya menyongsong si penjual untuk memesan beberapa bungkus cilok dengan maksud
diberikan kepada para petugas pos kesehatan yang sudah bekerja sejak pagi dan
belum sempat sarapan. Tapi sayang, ciloknya ternyata belum matang sehingga saya
kembali ke posko setelah sekali lagi memberikan pesan kepada si penjual untuk
membuatkan beberapa bungkus cilok. Beberapa menit kemudian saya kembali lagi
untuk mengambil pesanan saya. Ternyata pesanannya belum dibuatkan karena si
penjual sibuk melayani orang-orang. Sampai akhirnya saya menawarkan diri untuk
membantu membungkuskan dan membumbui pesananan saya. Ketika saya sedang
membantu si penjual membungkus pesanan saya tiba-tiba ada seorang perempuan
yang dengan enaknya ‘menyeletuk’. “Jangan mentang-mentang kader jadi pesanannya
didahulukan. Ah ini gak bener. Dari awal aja udah KKN gimana nanti”. Ketika mendengar
celetukan si perempuan itu sungguh hati ini seperti terbakar bara api. Ingin rasanya
membalas kata-kata ‘jahat’ si perempuan itu yang sudah seenaknya menuduh saya
melakukan KKN. Dia tidak mengetahui duduk permasalahannya tapi dengan seenaknya
mengatakan ‘fitnah’ itu.
Sungguh saat itu saya
merasa sangat sedih sekaligus marah. Ingin rasanya saya membalas kata-kata si
perumpuan itu dengan mengatakan bahwa uang untuk jajanan gratis ini dari
kantong para kader bukan memakai uang negara. Ingin rasanya mengatakan bahwa
saya itu bukan seenaknya mengambil antrian orang tapi memang saya sudah memesan
dulu dan pun ciloknya bukan untuk saya pribadi tapi untuk para kader yang
sedang bertugas melayani mereka sedari pagi. Ingin rasanya mengatakan bahwa
kamu sudah diberi makanan gratis tidak
sepatutnya kamu ‘memfitnah’ orang yang sudah member kamu makanan gratis ini. Tapi
lidah ini kelu, berusaha diri untuk tidak membalas perbuatan jelek orang itu. Berusaha
menahan diri untuk mempertahankan nama baik partai di mata para simpatisan dan
masyarakat.
Sungguh hati ini sulit ‘ikhlas’
untuk menerima perlakuan si perempuan dengan mulut tajam itu. Sungguh ingin
rasanya mulut ini memaki si perempuan itu dengan kalimat ‘orang tidak tahu diri’.
Tapi sekali lagi hati ini dikuatkan untuk tidak membiarkan mulut mengeluarkan
apa yang ingin disampaikan oleh hati.
Tak terbayang apa yang
dirasakan oleh para qiyadah kami yang telah dituduh dengan apa yang tidak
pernah mereka lakukan. Teringat ketika Ustadz Misbakhun dituduh terlibat kasus
korupsi. Kasus yang me-nasional. Semua rakyat Indonesia menyaksikan ketika
beliau dituduh melakukan korupsi. Entah apa yang dirasakannya. Yang pasti akan
jauh lebih sedih dan sakit hati dibandingkan apa yang telah terjadi pada saya. Tapi
beliau tetap tegar dan tersenyum dalam menjalani prosesnya hingga akhirnya
terbukti tidak bersalah. Dan yang terbaru adalah ujian keikhlasan dari Ustadz
Luthfi. Yang pasti kasusnya jauh lebih besar daripada yang saya alami. Kasus sekecil
yang saya alami saja mebuat goncangan kemarahan dalam diri saya apalagi kasus
sebesar beliau.
Tapi itulah ujian
keikhlasan. Sangat sulit dan mahal harganya. Dan hanya Alloh saja yang mampu
menilai keikhlasan hati dari manusia. Wallahu’alam …^_^…
No comments:
Post a Comment