Menulis dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang membentuk simbol-simbol. Tetapi menulis lebih dari
sekedar memproduksi simbol grafis, seperti berbicara yang diartikan bukan hanya
sebagai produksi suara. Simbol-simbol ini harus disusun, berdasarkan konvensi
tertentu, untuk membentuk kata-kata dan kata-kata disusun untuk membentuk
kalimat.
Secara sederhana hakikat menulis, yaitu menuangkan
ide atau pikiran secara tertulis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.,
“menulis adalah menyusun suatu cerita buku dan sebagainya. (Alwi, dkk. 2003:
506). Sejalan dengan pengertian di atas, Learner (dalam Abdurrahman, 1996: 192)
mengemukakan,bahwa “ menulis atau mengarang adalah mengemukakan ide dalam
bentuk visual.” Lebih jauh, Sumarmo (1989, hlm. 7) mengemukakan, bahwa “menulis
adalah mengungkapkan bahasa dalam bentuk simbol gambar.”
Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan
berkomunikasi atau penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai
medianya (Suparno dan Yunus: 2003, hlm 3). Menurut Akhadiah (1998, hlm. 3), menulis
adalah suatu aktifitas bahasa yang menggunakan tulisan sebagai medianya.
Menulis
dapat diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide atau gagasan dengan menggunakan
bahasa tulis sebagai media penyampai (Tarigan, 1986: hlm, 15). Menulis, menurut
McCrimmon (dalam Saddhono dan Slamet: 2014, hlm, 151), merupakan kegiatan
menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu objek, memilih hal-hal yang akan
ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya
dengan mudah dan jelas.
Slamet
(2008: hlm, 72) mengemukakan kemampuan menulis yaitu kemampuan berbahasa yang
bersifat produktif; artinya, kemampuan menulis ini merupakan kemampuan yang
menghasilkan; dalam hal ini menghasilkan tulisan.
Menurut
Solehan, dkk (2008: hlm, 94) kemampuan menulis bukanlah kemampuan yang
diperoleh secara otomatis. Solehan menjelaskan bahwa kemampuan menulis
seseorang bukan dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh melalui tindak
pembelajaran. Berhubungan dengan cara pemerolehan kemampuan menulis, seseorang
yang telah mendapatkan pembelajaran menulis belum tentu memiliki kompetensi
menulis dengan andal tanpa banyak latihan menulis.
Menurut
Nurgiyantoro (2014: hlm, 422), aktivitas menulis merupakan sebuah bentuk
manifestasi kompetensi berbahasa paling akhir dikuasai pembelajar bahasa
setelah kompetensi menyimak, berbicara dan membaca. Dibandingkan ketiga
kompetensi bahasa tersebut, kompetensi menulis dapat dikatakan lebih sulit
untuk dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal
ini disebabkan karena kompetensi menulis menghendaki penguasaaan berbagai unsur
kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi dari
tulisan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi pesan harus terjalin sedemikian
rupa sehingga menghasilkan tulisan yang runtut, padu dan berisi.
Kegiatan
menulis menghendaki orang untuk menguasai lambang atau simbol-simbol visual dan
aturan tata tulis, khususnya yang menyangkut masalah ejaan. (Nurgiyantoro:2014,
hlm, 423)
Pada dasarnya menulis
itu bukan hanya melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan
pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu dan pengalaman hidup seseorang dalam bentuk
bahasa tulis. Oleh karena itu, menulis bukanlah merupakan kegiatan yang
sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi harus dikuasai.
Penguasaan terhadap
menulis berarti keterampilan untuk mengetahui dan memahami struktur bahasa yang
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Keterampilan tersebut adalah sebagian dari
persyaratan keterampilan menulis seseorang untuk mengetahui, memahami, dan
menggunakan unsur-unsur kata, kalimat, paragraf, serta tata tulis
menulis.(Saddhono dan Slamet:2014, hlm, 153)
No comments:
Post a Comment