Al-Israa:36

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"In the name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful"



Wednesday, 27 December 2023

Marjinalisasi Perempuan dalam Politik

Pandangan negatif masyarakat terhadap perempuan masih saja terasa timpang dan mungkin tidak adil bagi perempuan. Perempuan masih dipandang sebelah mata oleh sebagian mayarakat yang masih berpikiran kolot. Bahkan beberapa bagian masyarakat masih memiliki anggapan bahwa tingkat perempuan berada di bawah laki-laki. 


Berbagai stereotype atau prasangka terhadap perempuan memunculkan sikap antipasti yang menggeneralisasi perempuan dengan sifat yang sama. Dari stereotype ini, perempuan dilabeli dengan sikap yang diinginkan oleh masyarakat. Perempuan yang lemah, cengeng, penggoda, tidak rasional, emosional, dan tidak mampu mengambil keputusan penting. Prasangka-prasangka negatif ini dijadikan label untuk semua perempuan padahal tidak ada dasar atasnya. Bahkan seringkali pelabelan tersebut tidak seratus persen benar. 


Dalam pandangan sebagian masyarakat, kodrat perempuan hanya sebatas sumur, dapur, kasur atau mengurus rumah tangga serta melayani suami di rumah dan perkara mencari nafkah di luar rumah menjadi urusan suami. Bekerja adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat mendasar. Tetapi peradaban membebani perempuan dengan stigma yang cukup bertendensi negative jika diterapkan di zaman serba modern seperti sekarang. 


Zaman dulu dan mungkin zaman sekarang juga masih ada pandangan yang berpendapat bahwa perempuan yang meniti karier, tidak dipandang sebagai perempuan yang hebat, melainkan sebagai perempuan yang gagal. Mereka disebut gagal menyelenggarakan tugas utamanya yaitu mengurus rumah tangga. Sebaliknya, jika dalam kondisi perempuan yang harus bekerja menghasilkan materi untuk menghidupi keluarganya sebagai tulang punggung keluarga hanya akan sekadar dianggap ‘menggantikan’ fungsi suami. Anggapan ini walaupun ‘salah’ menurut pandangan saya dan juga mungkin banya perempuan bekerja lainnya di luar sana tetapi ternyata masih kuat menguasai budaya kita.


Zaman dulu, budaya kita didominasi budaya patriarki atau budaya yang menempatkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Perempuan dianggap tidak bisa melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Pemikiran perempuan dianggap remeh dan tidak mumpuni untuk membicarakan hal-hal kompleks termasuk masalah politik, keuangan, negara dan masalah kompleks lainnya. 


Membicarakan politik dianggap isu yang berat dan njlimet. Banyak perempuan yang belum melek masalah politik. Sebagian masyarakat masih beranggapan dunia politik adalah dunia para laki-laki bukan dunia perempuan. 


Sebenarnya di masa modern ini, dunia perempuan sudah sangat berkembang dan lebih luas. Perempuan tidak dianggap sebelah mata lagi. Banyak perempuan yang bekerja dan bahkan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sebagian laki-laki.  Namun, politik masih menjadi isu yang belum biasa dibicarakan oleh perempuan dari berbagai kalangan. Padahal politik adalah satu bahasan yang sebenarnya penting untuk didiskusikan bahkan dieksekusi oleh perempuan. Benarkah seperti itu?


Politik dipandang sebagai salah satu dari beberapa masalah ‘di luar jangkauan’ perempuan sehingga hanya laki-laki saja yang mampu untuk memikirkan politik dengan segala isi otak dan pemikirannya. Hal ini seolah memberi garisan tegas bahwa antara perempuan dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu dengan yang lainnya. 


Dunia perempuan dibatasi hanya di dalam rumah yang meliputi wilayah domestik, mengurus anak-anak dengan segala macam keruwetannya. Kalaupun berkarir dan bekerja di luar rumah, maka pekerjaan/karir mereka bukanlah hal yang utama. 


Para perempuan bekerja diharuskan siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja. Sedangkan politik dipandang hal yang hanya cocok digelukuti oleh  laki-laki karena di dalamnya penuh dengan intrik-intrik berbahaya, terlihat maskulin dan penuh manuver serta identik dengan uang dan kekuasaan.


Mendekati tahun politik, perempuan menjadi sasaran empuk yang bisa digunakan sebagai objek politik. Stereotype bahwa perempuan tidak bisa membuat keputusan yang tepat menjadi hal yang menggairahkan para subjek politik dalam meraup suara. Perempuan dianggap tidak memiliki kapasitas untuk memilih dan membuat keputusan mengenai pilihan politiknya sehingga mudah saja untuk menggiring pilihan para perempuan. 


Bagaimana peran perempuan dalam dunia politik di Indonesia? Perempuan memang seharusnya berperan aktif dalam polotik karena ada beberapa undang-undang mengenai perempuan yang hanya perempuan lah yang memahami sesama perempuan sehingga perempuan harus dilibatkan aktif dalam perumusan undang-undang yang berhubungan dengan keperempuan. 


Untuk mewadahi keikutsertaan perempuan dalam konstelasi perpolitikan, Negara Indonesia sebenarnya telah memberikan kesempatan yang cukup bagi perempuan untuk ikut bertarung dalam kancah perpolitikan. Terbukti dengan undang-undang yang mengharuskan setiap partai politik untuk menyertakan peran perempuan. 


UU No 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap tiga bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan. 


Namun, akankah nasib perempuan yang termajinalkan akan berubah atau masih hanya wacana saja yang entah kapan terealisasikan? 



No comments:

Post a Comment