Zaman sebelum kemerdekaan, perempuan tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana halnya laki-laki. Pun perempuan dari kalangan bangsawan tidak pula mendapatkan pendidikan yang layak seperti laki-laki dari kaum bangsawan lainnya. Belum ada perempuan yang diberi kesempatan untuk bersekolah di negara Belanda seperti halnya laki-laki.
Raden Ajeng Kartini adalah salah satu wanita Indonesia yang memandang miris akan nasib para perempuan di Indonesia. Kartini mengungkapkan rasa kecewa atas tidak diberinya pendidikan yang cukup untuk wanita Indonesia melalui surat-surat yang ia kirimkan kepada teman-temannya di Belanda.
Lahir di Jepara, Jawa Tengah, Raden Ajeng Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang terpandang. Ayahnya adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah Bupati Jepara dan masih memiliki garis keturunan dari wangsa Mataram.
Seperti kebanyakan anak perempuan di kalangan bangsawan saat itu, Kartini pun tidak melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Kartini hanya menempuh pendidikan hingga usianya mencapai 12 tahun. Setelah itu, kartini mulai dipingit untuk dipersiapkan menjadi seorang istri.
Kartini menempuh pendidikan di Europese Lagere School (ELS). ELS adalah sekolah dasar milik pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak keturunan bangsa Eropa, keturunan timur asing, dan pribumi dari Kalangan bangsawan.
Sesuai tradisi pada zaman itu, setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, Kartini mulai dipingit di rumah. Pada saat itulah ia mulai menulis surat kepada teman-temannya yang kebannyakan berasal dari Eropa, seperti Stella Zeehandelaar, Jacques Henrij Abendanon, Rosa Manuela Abendanon, dan masih banyak lagi.
Sebelum berusia 20 tahun, Kartini sudah habis melahap buku-buku seperti De Stille Kraacht karya Louis Coperus, Max Haveelar karya Multatuli, dan masih banyak buku-buku karya penulis habit pada masanya. Semua buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tahun 1903, ia dijodohkan dan menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Arioa Singgih Sjojo Adhiningrat sebagai istri ke-empat. Menikah dengan suami yang sudah memiliki tiga istri sebelumnya ternyata tidak seburuk dugaan Kartini. Terbukti saat menikah, suami Kartini tidak mengekang cita-cita Kartini. Suaminya mendukung cita-cita Kartini untuk memajukan perempuan di Indonesia. Suami Kartini mengizinkan Kartini membangun dan mengelola sekolah untuk perempuan di komplek kantor bupati.
Selama menikah, Kartini memiliki soerang anak laki-laki, tetapi sayang putranya meninggal empat hari setelah dilahirkan. Kartini sendiri meninggal pada tanggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun.
Selain Kartini, ada juga wanita yang berjuang untuk pendidikan yang berasal dari Jawa Barat. Ia adalah Dewi Sartika. Raden Dewi Sartika lahir dari orangtua bernama Raden Somanegara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas. Ia dilahirkan di Cicalengka, Kabupaten Bandung pada tanggal 4 Desember 1884. Kedua orangtuanya merupakan para pejuang yang menentang pemerintahan Hindia Belanda.
Dewi Sartika telah memiliki minat terhadap pendidikan sejak ia kecil. Ayah dan ibunya lah yang memperkenalkan Dewi Sartika kecil dengan dunia pendidikan. Walaupun saat itu menyekolahkan anak perempuan itu bertentangan dengan pandangan masyarakat tetapi kedua orangtua Dewi Sartika tetap menyekolahkan putrinya di Eerste Klasse School. Di sana, Dewi Sartika belajar bersama dengan anak-anak dari kalangan bangsawan, Belanda, dan Indo-Belanda.
Karena kecerdasannya yang luar biasa, Dewi Sartika kerap mengajar membaca dan menulis kepada teman-temannya di sekitar rumahnya, khususnya para anak perempuan pribumi.
Pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus perempuan di Bandung yang diberi nama Sekolah Istri. Sekolah ini merupakan sekolah pertama dan tertua di Indonesia. Di sekolah ini para perempuan diajarkan untuk membaca, menulis, merenda, menjahit, dan masih banyak lagi.
Islam dan Rasulullah SAW sangat memperhatikan pendidikan, terbukti dengan banyaknya ayat dalam Al-Quran dan Hadits yang menyatakan pentingnya untuk menuntut ilmu. Berikut adalah beberapa ayat dan hadits tentang pentingnya pendidikan.
"Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Muslim)
"Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali." (HR Tirmidzi)
"Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi, tidaklah mewariskan dirham dan dinar, akan tetapi mereka mewarisi ilmu, maka barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang besar." (HR Abu Dawud)
Apa yang dilakukan oleh Kartini dan Dewi Sartika dan para pejuang pendidikan bagi perempuan lainnya bukan hanya wacana dan rencana saja. Mereka telah mewujudkan impian dan rencana mereka dalam tindakan nyata. Keresahan yang dialami telah memotivasi mereka untuk mewujudkan impian mereka demi kemajuan para perempuan di masa lalu. Kisah heroic mereka pun memotivasi para pejuang pendidikan untuk meneruskan perjuangan Kartini dan Dewi Sartika.
No comments:
Post a Comment