Kami, bersama-sama sejak awal kami mengenal halaqoh. Bersama-sama kami duduk melingkar di selasar masjid Al-Furqon UPI di awal millennium di awal kami belajar dengan status mahasiswa. Bersama kami duduk melingkar mendengarkan murobbi kami menyampaikan apa yang juga disampaikan Rasululloh pada sahabat-sahabatnya. Bersama kami belajar Islam. Bersama kami belajar mengaji. Bersama kami saling nasihat menasihati. Bersama kami tertawa dan menangis. Tak terasa bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Kala itu 12 tahun yang lalu kami mulai saling mengenal. Mengenal karakter kami masing-masing. Ada yang tenang ada yang ceria ada yang ‘heboh’. Ada yang ‘easy going’, ada yang ‘perfectionist’. Ada yang mandiri ada yang manja. Bermacam-macam karakter ada dalam kelompok kami.
Hari ini, 12 tahun kemudian kami pun berjumpa entah untuk kesekian kali setelah kami terpecah-pecah dari halaqoh pertama. Kami bertemu, berdiskusi ringan tentang ‘halaqoh’. Ternyata nikmat dan rezeki berhalaqoh tidak semuanya dari kami masih bisa menikmatinya. Banyak dari kami yang tidak lagi menikmati indahnya melingkar dalam halaqoh, indahnya mengkaji ilmu bersama-sama, indahnya pertemuan tiap akhir pekan bersama saudara-saudara satu visi dan misi.
Banyak kendala ternyata yang menyebabkan beberapa dari kami ini ‘lepas’ dari halaqoh. Salah satunya adalah setelah menikah dan mungkin karena kesibukan dunia pernikahan waktu untuk berhalaqoh tidak lagi tersedia atau juga dukungan dari suami yang kurang. Jadi apakah komitmen uantuk saling menguatkan dalam dakwah yang dicantumkan dalam visi dan misi pernikahan yang tertuliskan dalam biodata masing-masing tidak lagi mampu untuk mengingatkan diri untuk teguh berhalaqoh.
Hari itu, kami juga berdiskusi tentang rasa malas yang kerap menyerang ketika harus berhalaqoh. Tuntutan agenda halaqoh yang dianggap memberatkan sampai tenaga dan pikiran yang harus dicurahkan ketika berhalaqoh.
Jujur, terkadang saya pun merasa langkah ini berat sekali ketika harus berangkat ke tempat halaqoh. Rasanya kaki ini berat melangkah, punggung terasa berat membawa tas yang berisi buku catatan dan qur’an. Bibir terasa berat untuk menyetorkan hapalan surat. Tangan terasa berat untuk menuliskan amalan harian dalam buku evaluasi atau menuliskan sekedar catatan kecil tentang materi yang disampaikan murobbi. Telinga terasa berat untuk mendengarkan nasihat dan materi dari murobbi. Mata terasa berat untuk tetap terjaga. Astagfirulloh, padahal mereka lah nanti yang akan bersaksi di akhir zaman ketika amalan kita ditimbang. Kaki kita yang akan ditanya kemana saja dilangkahkan. Tangan yang akan bersaksi tentang apa yang telah dikerjakannya. Telinga akan bersaksi tentang apa yang didengarkannya. Bibir akan bersaksi tentang apa yang telah dibicarakannya. Mata akan bersaksi tentang apa yang telah dilihatnya.
Maka, bersyukurlah katika masih diberi nikmat dan rezeki untuk berhalaqoh. Karena tidak semua orang bisa merasakan nikmat berhalaqoh. Luruskan selalu niat kita ketika akan berhalaqoh. Hancurkan rasa malas itu, karena ketika rasa malas yang menang maka akan sulit bagi kita untuk merebut kembali kemenangan. Tidak ada alasan untuk merasa terbebani oleh kewajiban untuk berhalaqoh karena berhalaqoh adalah kebutuhan bukan kewajiban.
No comments:
Post a Comment