Ada ketidakpercayaan
diri ketika .. hmmm let’s say ketika di usia lebih dari 30 ini belum ada
satupun lamaran dari seorang laki-laki yang baik. Honestly, belum pernah ada
satu pun ‘proses’ yang saya jalani untuk menuju pernikahan sejak usia saya
pantas untuk dilamar. Pun, tidak ada satu pun lelaki yang pernah mengajak saya
pacaran, istilah dulu pas saya remaja sih ‘nembak’. Jadi kalau teman-teman saya
sejak SMP sudah mulai berpacaran, (Alhamdulillah-dalam hal ini saya harus mengucap
syukur karena tidak merendahkan diri untuk berpacaran tanpa pernikahan) tidak
satu kali pun saya pernah berpacaran. Gimana mau pacaran, tidak ada seorang pun
lelaki yang ‘nembak’ saya. Berlanjut ke usia SMA dan kuliah, hasilnya tetap
masih nol. Saya, masih tetap ‘terpajang’ manis di dalam etalase tanpa ada
seorang pun yang berniat membeli atau bahkan melihat-lihat (emang barang?..yah
kalau mau diistilahkan dengan sebuah barang).
Setelah mengenal Islam
dengan lebih dalam, saya mengetahui bahwa pacaran itu diharamkan dan tidak
sesuai dengan syariat. Oh, saya bersyukur karena saya tidak pernah sekalipun
berpacaran walaupun saat itu saya belum tahu bahwa pacaran itu tidak
diperbolehkan dalam Islam. Setelah saya tahu bahwa ada cara yang sesuai syariat
untuk menuju pernikahan, yaitu ta’aruf. Teman-teman
kuliah saya satu persatu bertaa’aruf dan akhirnya menikah. Alhamdulillah hampir
semua teman kuliah saya telah menikah, dan semua teman baik saya (ceritanya
kita punya geng) telah menikah tersisa saya yang masih single fighter. Pun,
setelah saya mengenal istilah ta’aruf ini, tidak ada satupun ikhwan yang pernah
mengajukan lamaran pernikahan. Ada beberapa ikhwan yang pernah bertukar
biodata, dalam rangka proses taaruf, tapi setelah pertukaran data itu tak
seorang pun dari mereka yang melanjutkan proses tersebut.
Nah kedua ‘masalah’ ini –
tidak pernah ada yang ‘nembak’ dan tidak pernah ada yang melamar tentu saja
merontokkan rasa kepercayaan diri saya sebagai manusia. Bagaimana tidak, jika
saya mempunyai pikiran jika saya ‘tidak diinginkan). Wuih bahasanya ngeri
banget kan. Menurut saya sih wajar sebagai manusia jika punya pikiran seperti
itu. The first impression itu kan dari fisik. Sampai-sampai saya punya pikiran
kalau saya itu sangat tidak menarik dari segi fisik, emang sih berat badan saya
tidak ideal, kalau masyarakat kebanyakan sih bilang istilahnya gendut,
hehehehe. Wajah saya pun tidak memancarkan kecantikan yang luar biasa, tapi
kata ibu saya sih muka saya lumayan cantik (lagian mana ada seorang ibu yang
bilang anaknya jelek, hihihi). Kemungkinan nih dua kombinasi ini tidak
mengesankan untuk lawan jenis. Mungkin kelak yang menjadi pasangan saya musti
mempunyai hati yang benar-benar tulus untuk bisa menerima saya sebagaimana saya
adanya. Dan lelaki tulus itu jarang banget ada di muka bumi ini.
Pride,
adalah ‘benteng’ yang mungkin saya ciptakan untuk menutup rasa ‘ketidakpercayaan
diri’ saya. Saya tidak suka orang lain melihat kekurangan saya yaitu ketidakpercayaan
diri saya dalam hal relationship between
man and woman. Untuk menutupi kekurangan tersebut saya tutup dengan
mengeluarkan semua kemampuan saya yang tidak berhubungan dengan man and woman relationship. Misalnya,
dalam dunia kerja saya mempunyai posisi dimana sayalah yang mengerjakan konsep
dan co-workers saya yang laki-laki lah yang mengerjakan teknis dari konsep yang
saya buat. Saya pun menganggap bahwa diri saya bisa mengerjakan apapun tanpa
atau dengan sedikit bantuan dari laki-laki.
Saya berusaha membangun
benteng yang tinggi sekali. Dalam hal ini saya sebenarnya sangat menyadari
bahwa apa yang saya lakukan ini tidak benar. Coba bayangkan saja bagaimana ada ‘pangeran’
yang melamar jika benteng kastil nya dibuat sangat tinggi dengan pintu yang
sama kokohnya. Yang ada para ‘pangeran’ itu akan memutar balik kuda nya dan
mencari kastil lain dengan benteng yang tidak terlalu tinggi dan pintu yang
terbuka lebar.
Itulah ‘pride’ saya yang mungkin menjadi ‘boomerang’ bagi saya. Bisa jadi
keegoisan dan pride saya yang terlalu
tinggi yang membuat saya ‘dijauhi’ dan tidak ada satupun yang berani mendekat. Ada
seseorang yang pernah bilang kalau diibaratkan barang, saya itu barang kuno
yang harganya terlalu mahal sehingga orang-orang gak berani beli.
Ah, tapi semuanya saya
kembalikan lagi kepada dzat penguasa, pemilik jiwa dan raga saya. Saya serahkan
semuanya sama Allah saja. Saya yakinkan diri saja bahwa jodoh itu sudah Allah
sediakan untuk saya. Tinggal ikhtiar yang harus saya usahakan lebih, salah
satunya dengan memperbaiki kualitas pribadi saya. Mungkin sang ‘pangeran’ itu
sedang menunggu di luar kastil, menunggu saya membukakan pintu yang kokoh itu.
Sedang
mencari kunci pintu kastil itu agar bisa dibuka, dicari-cari belum ketemu…hihihi
No comments:
Post a Comment