Al-Israa:36

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"In the name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful"



Sunday 27 March 2011

Nasib Sekolah kita



Pagi-pagi sekali, setelah shalat shubuh Asep sudah bersiap-siap untuk pergi bersekolah. Maklum saja sekolah yang akan dia datangi terletak sangat jauh sekali, dibalik gunung yang menghadap tepat rumahnya. Sesampainya di sekolah, baju kusam berwarna putih merah miliknya telah basah oleh keringat yang sejak dia berjalan memutari gunung sudah mulai menetes walaupun cuaca pagi itu cukup dingin. Itulah salah satu potret seorang anak bangsa yang gigih menunutut ilmu.
Dengan fasilitas seadanya, Asep dan teman-temannya bersemangat mengikuti pelajaran walaupun harus berdesakan karena satu bangku yang sudah mulai reyot itu harus diduduki oleh tiga sampai orang dengan ukuran ruangan yang tidak cukup besar, itupun harus berbagi dengan kelas lain. Maklum saja di sekolah tersebut hanya ada dua ruangan kelas, satu ruangan untuk guru merangkap ruangan untuk kepala sekolah dan perpustakaan dengan rak buku yang jarang. Yang lebih menakjubkan di sekolah tersebut juga hanya ada satu guru yang mengajar mulai dari kelas satu sampai enam. Selain menjadi guru superman beliau juga merangkap menjadi Kepala Sekolah. Dengan bayaran tidak seberapa dibandingkan dengan peluhnya bapak tersebut dengan cinta kasihnya tetap mendidik anak-anak di bawah kaki gunung itu dengan semangat tiada kata menyesal dengan profesi yang dipilihnya. Mungkin hanya ridho Allah saja yang dia harapkan.
Sementara itu, di sebuah rumah mewah seperti yang sering terlihat di sinetron-sinetron yang kerap ditayangkan di semua tv di Indonesia pada waktu primetime. Seorang anak, sebut saja namanya Florecita (nama yang bagus kan? Nama berbau kebaratan yang juga mungkin cocok dengan sandang, pangan dan papan yang dia atau orangtuanya miliki) sedang menikmati sarapan paginya yang memenuhi standar gizi internasional. Seorang pembantu rumah tangga melayani semua keperluan nona mudanya di pagi hari yang cukup cerah. Subuah mobil mewah keluaran terbaru nangkring di depan rumah bersiap untuk mengantarkan sang nona menuju sekolahnya.
Tiba di sekolah, menakjubkan sekali, sebuah gedung yang sangat luas dengan lapangan-lebih luas dari pada lapangan siliwangi tempat klub Maung Bandung Persib melakukan pertandingan-pertandingan di liga Indonesia-terhampar dengan rumput hijau yang berbaris rapih. Tiap kelasnya dihuni oleh tidak lebih dari lima belas siswa. Melongok lebih ke dalam akan terlihat sebuah ruangan olah raga dengan fasilitas yang sangat lengkap. Dari basket sampai bulutangkis, dari taekwonda sampai aikido (fasilitas yang lengkap untuk siswa sekolah dasar, bukan?). Belok kanan di ujung lorong ada dua ruangan berjejer, didalamnya berisi bahan-bahan untuk percobaan, dari percobaan biologi sampai fisika. semakin jauh berkeliling, semakin banyak fasilitas yang akan ditemukan. Maklum saja bayarannya mencapai sepuluh juta perbulan.
Bandingkan saja dengan keadaan sekolahnya Asep si anak gunung. Tapi itulah wajah pendidikan yang tercermin di bangsa kita tercinta. Tapi kita juga akan terheran-heran jika saja tahu kalau presiden pertama kita-sang bapak proklamator sampai presiden kita sekarang-SBY ternyata masa sekolahnya setali tiga uang dengan Asep si anak gunung itu. Jadi ????
Memang untuk menciptakan sebuah sekolah yang berkualitas bagus tidaklah harus ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang mahal dan dibeli oleh mata uang Dollar US. Seperti yang dicontohkan oleh guru-guru taman kanak-kanak di Demak. Mereka memanfaatkan sisa-sisa kayu dari pekerjaan bangunan di sekitar mereka. Dari limbah kayu itu mereka membuat permainan yang mendidik seperti balok-balok kayu yang bisa disusun menjadi berbagai bentuk sepert rumah, gedung, dan lain-lain. Mereka pun bisa membuat replica kota Demak dari limbah kayu itu. Atas karya mereka MURI pun ikut memberikan sebuah penghargaan untuk hasil kerja keras mereka. Ternyata fasilitas sederhana jika dikemas dengan kreatif akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
Jadi, menurut penulis sebuah sekolah berkualitas tinggi itu bukanlah sekolah dengan fasiltas yang lengkap den mewah tapi sekolah dimana didalamnya hadir pendidik-pendidik berkualitas tinggi yang selalu menyertakan cintanya yang ikhlas dalam mendidik karena cintalah yang membuat orangtua mendidik anak-anaknya dengan baik, karena cintalah yang membuat seorang guru dengan ikhlas mendidik anak-anak didik mereka di kelas-kelas mereka baik dengan ruangan sempit maupun luas, baik beratap genting kualitas nomer wahid ataupun hanya beratap langit-langit biru yang tiada batas. Karena cinta yang ikhlas mencapai ridho Allah sajalah yang memompa semangat seorang guru yang mengajar di sekolahnya Asep untuk terus mendidik (profil gurunya Asep ini terisnpirasi oleh seorang yang mendapatkan penghargaan dari gubernur Jawa Barat atas dedikasinya di bidang pendidikan, pernah dimuat profilnya di harian Pikiran Rakyat dengan judul ‘Guru Superman’, hanya saja penulis lupa nama guru superman tersebut dan lokasi guru mulia itu mendidik.) Karena cinta yang ikhlaslah anak bangsa ini akan terbantu mencapai puncak dimana jalan menuju puncak itu sangat terjal tiada tara. Tanpa cinta yang ikhlas orangtua akan kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka, terutama pendidikan agama mereka. Mereka menganggap dengan fasilitas yang mewahlah yang akan mengantarkan anak-anak mereka menuju gerbang kesuksesan. Karena tanpa cinta yang ikhlaslah seorang guru mendidik siswa-siswanya dengan tidak maksimal dan tanpa menghadirkan segenap hatinya untuk mendidik anak bangsa ini. Karena tanpa cintalah para guru lebih mementingkan gaji atau honor yang diterima daripada mentransferkan ilmu yang dimilikinya (tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan guru-guru tertentu. Hanya saja kejadian tersebut dialami oleh penulis sendiri, ketika penulis mengajar di sebuah Sekolah Dasar ada perasaan kecil penulis yang menggerutu karena honor yang sangat minim dan hal itu berakibat besar pada proses mengajar penulis. Penulis menjadi malas-malasan dalam mengajar.  Itulah ketika materi menguasai kita dari kegiatan yang mulia ini (mendidik)).
Wallahu’alam bishawwab.


No comments:

Post a Comment