Menulis (Cerpen) Untuk Media Cetak
Sumber: www.bundarayya.multiply.com
Saya mencoba menulis cerpen untuk dikirim ke media cetak sejak tahun 2000. Majalah Annida (majalah Islami untuk remaja yang sekarang berformat on-line) adalah satu dari sekian media yang memotivasi saya untuk menulis cerpen. Saya suka membaca rubrik galeri cerpen (lalu berganti nama Bengkel Cerpen Nida/BCN) yang saat itu diasuh bergantian oleh Helvy Tiana Rossa, Harris Effendi Thahar, Hamsad Rangkuti, Gola Gong, dan Joni Ariadinata. Rubrik itu mengulas satu dari beberapa cerpen yang dimuat dalam satu edisi, serta mengupas bagaimana trik-trik menulis cerpen yang oke. Saya begitu terobsesi ‘menembus’ majalah itu.
Dengan meminjam mesin ketik jadul milik saudara, saya tulis beberapa cerpen bernafaskan Islam. Setelah itu, saya kirim semua ke Annida.
Tiga bulan menunggu nggak ada kabar, saya anggap karya itu nggak layak muat. Akhirnya saya ‘lempar’ naskah-naskah itu ke majalah Mahameru, majalah lokal di kota saya. Akhir 2001, salah satu naskah itu dimuat! Meski honornya cuma sepuluh ribu, rasanya seneeeeeng banget. Jadilah cerpen itu cerpen pertama saya yang nampang di media.
Kepercayaan diri saya tumbuh. Saya makin rajin nulis, dengan sasaran media yang beragam. Selanjutnya, satu per satu cerpen saya mejeng di media seperti harian Surya, Malang Pos, Deteksi Jawa Pos, dll.
Suatu hari saya ngobrol tentang dongeng dengan Ika Maya Susanti, seorang teman se-komunitas menulis di kampus. Kebetulan waktu itu ada lomba menulis dongeng di Bobo. Tertarik ikut, saya pun mencoba menulis dongeng. Sayang, saya lupa tanggal deadline. Terlewatlah kesempatan itu.
Iseng, dongeng itu saya kirim ke majalah Mentari, dan dimuat! Dongeng itu menjadi cerita anak pertama yang dimuat media. Ini sekaligus membuktikan, ternyata saya nggak cuma bisa bikin cerpen remaja dan cerpen serius aja, cerita anak pun bisa ^_^.
Naskah cerpen saya juga sering ditolak media. Salah satunya majalah Kawanku. Kalau dikumpulkan, mungkin ada puluhan surat pengembalian naskah yang saya terima. Tapi saya suka, karena pihak redaksi memberi tahu, apa kelemahan cerpen saya.
Ditolak, awalnya kesal. Tapi lama-lama saya jadi kebal. Justru saya semakin tertantang untuk terus mengirim naskah. Satu lagi, saya semakin terlatih bersabar ;).
Selain Kawanku, yang rajin mengembalikan naskah saya adalah Kompas Anak. Ikut-ikutan para Paberland, saya menyebut surat pengembalian naskah itu sebagai surat cinta (saking seringnya nerima ^_^). Bertahun-tahun saya berjuang kirim naskah ke Kompas Anak. Entah itu artikel pendek, resensi buku, atau cerpen. Perjuangan saya menuai hasil di tahun ke sepuluh. Meski yang ‘tembus’ bukan cerpen (tapi resensi buku), bagi saya, itu tetap ‘sesuatu’ ;). Jadi, meski sering ditolak, jangan pernah patah semangat!
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika akan mengirim cerpen (termasuk jenis tulisan yang lain juga) ke media cetak.
(1) Kenali karakter media yang kita tuju. Misalnya kita punya cerpen tentang kisah cinta remaja. Trus, kita kirim ke Bobo. Ya sudah pasti ditolak. Majalah buat anak-anak kita kirimi cerpen cinta-cintaan, ya nggak nyambung.
(2) Catat alamat pengiriman naskah berbagai media dan tata cara pengirimannya. Awal saya menulis untuk media cetak, saya hobi berkunjung ke perpus untuk membaca majalah/koran, lalu saya catat alamat redaksinya beserta syarat-syarat penulisan dan pengiriman naskah ke media tersebut. Saya juga langganan ngintip alamat redaksi majalah/koran yang baru lahir di lapak dekat tempat kos semasa kuliah. Kakek yang punya lapak sampai hafal dengan kebiasaan saya (untung si kakek pengertian dengan kondisi mahasiswa berkantong pas-pasan seperti saya, hehe…).
(3) Penuhi syarat penulisan dan pengiriman naskah. Misalnya, patuhi jika media yang kita tuju mengharuskan tulisan kita nggak lebih dari 5200 karakter. Atau jika syarat pengiriman naskah harus via pos dan berbentuk print-out, sebaiknya jangan kirim via email. Meski aturan/kebijakan yang ditetapkan masing-masing media cetak berbeda, percayalah, itu pasti ada maksudnya.
(4) Jika naskah cerpen kita ditolak/dikembalikan, jangan sakit hati. Justru itu pembelajaran buat kita. Ada banyak kemungkinan, kenapa naskah kita ditolak. Bisa jadi karena cerpen kita terlalu panjang lebar, tema kurang menarik, EYD belepotan, ceritanya terlalu mengada-ada, ceritanya nggak cocok dengan visi misi media, dsb. Pengalaman saya, ditolak media satu, belum tentu media lain juga menolak. Contoh, saya pernah mengirim satu cerpen saya ke Kawanku. Nggak lama, naskah itu kembali. Saya perbaiki sesuai catatan dari redaksi Kawanku, lalu saya kirim ke Deteksi Jawa Pos. Eh, dimuat! Beberapa tahun kemudian cerpen itu malah muncul di buku pelajaran untuk SMU, trus diambil untuk teks soal UNAS pula. So, ditolak? Lempar ke media lain ;)
(5) Ketika mengirim naskah ke media cetak, sertakan surat pengantar. Nggak perlu panjang-panjang. Misalnya:
Yth. Redaktur Fiksi Kompas Anak
Saya mengirim naskah dongeng untuk Kompas Anak, judulnya Todi Si Belalang Kerdil. Dongeng ini benar-benar karya saya, bukan jiplakan atau saduran. Apabila pihak redaksi hendak mengedit isi dongeng ini, saya tidak keberatan. Terimakasih.
Salam,
RF.Dhonna
Sertakan pula identitas penulis. Biasanya terdiri dari nama lengkap, alamat, nomor handphone/telpon, nomor rekening (ada juga media cetak yang nggak minta nomor rekening), bisa juga ditambah dengan pengalaman di bidang tulis menulis.
(6) Kirim dan lupakan. Ini juga dilakukan oleh kebanyakan paberland. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti malah nggak produktif. Kalau sambil menunggu kabar, sambil menulis lagi, itu lebih baik. Ada kisah menarik dari seorang penulis yang luar biasa produktif. Setiap minggu dia mewajibkan dirinya menulis 2-5 cerpen. Uniknya, setiap minggu media bidikannya selalu berbeda. Misalnya minggu ini dia nulis cerpen buat dikirim ke Bobo dan Sekar. Minggu depannya dia membidik Kompas Anak dan Bravo.
Menulis untuk koran/majalah, kalau dimuat honornya lumayan lho. Di media cetak terkemuka, berkisar antara 250 ribu—1 juta (coba intip lagi bocoran dari mbak Widya Rosanti di dokumen). Ada juga sih, koran terkemuka yang nggak ngasih honor (maaf nggak bisa saya sebutkan koran apa itu). Tapi itu berpulang ke pribadi masing-masing penulis. Kalau niatnya nggak pure nambah penghasilan (misalnya untuk kepuasan batin, mengasah keterampilan menulis, dan berbagi), mungkin si penulis nggak terlalu mempermasalahkan. Tetapi kalau menulis cerpen untuk menyambung hidup, sebaiknya kirim naskah ke media cetak yang jelas ada honornya.
Sumber: www.bundarayya.multiply.com
No comments:
Post a Comment