Al-Israa:36

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"In the name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful"



Monday 17 December 2012

Buat Apa Les?

Miss, aku capek… Bu, saya males les ah… Bu guru, sekarang les-nya main aja ya. Itulah keluhan dari murid-murid privat saya ketika saya mengajar mereka di sore hari sepulang mereka sekolah. Kebanyakan mereka bersekolah di sekolah full day yang rata-rata selesainya sekitar jam 2 atau 3 sore. Mereka adalah anak sekolah dasar, saat mereka menikmati masa usia anak-anak yang penuh dengan permainan dan kesenangan. Dimana seharusnya mereka banyak mengeksplorasi diri dengan cara yang menyenangkan dibandingkan berkutat dengan buku-buku sekolah maupun buku-buku kursusan.
Lingkungan sosial di masyarakat lah yang menjadikan mereka layaknya robot-robot berbentuk anak-anak. Orangtua mereka tidak ingin anaknya kalah dari anak yang lain sehingga mereka-orangtua membebani anak-anak mereka dengan berbagai macam les dan kursus. Mereka berasumsi bahwa anak yang sukses adalah anak dengan rangking 1 atau 3 besar, 5 besar, ataupun 10 besar di sekolahnya. Mereka akan merasa bangga jika anak mereka lebih daripada anak-anak lainnya. Mereka tidak merasakan rasa lelah yang dialami oleh anak-anak mereka sepanjang harinya.
Terkadang, anak-anak itu memilki agenda yang padat sepanjang minggunya. Dari senin sampai sabtu waktu mereka dipadati oleh jadwal sekolah dan les atau kursus. Hari Senin dan Kamis, mereka les Matematika, hari Selasa dan Jum’at les Bahasa Inggris, hari Rabu latihan renang, hari Sabtu kursus biola dan piano dan seterusnya. Tidak ada waktu bagi anak-anak itu sekedar bermain sejenak, menggeliatkan otot-otot mereka dengan bermain galah asin, lompat tali, ataupun petak lari atau umpet. Tidak ada lagi permainan tradisional yang anak-anak zaman sekarang ketahui atau mainkan. Mereka hanya mengenal video game computer atau play station. Jarang sekali anak-anak sekarang menggerakkan badannya untuk sekedar menikmati permainan.
Kursus dan les telah mengekang kebebasan mereka. Demi gengsi kedua orangtuanya, kenikmatan anak-anak bermain telah terampas. Sebenarnya, apa yang dicari oleh para orangtua itu. Apa yang mereka inginkan dari anak-anaknya. Apakah mereka ingin anak-anak mereka seperti robot, yang dapat mereka atur sedemikian rupa dan seenaknya mereka sendiri. Apakah benar kursus dan les yang mereka-orangtua jejalkan itu yang terbaik untuk anak-anaknya. Karena menurut saya mereka telah melanggar hak anak-anak mereka untuk bermain, mengesplorasi diri, belajar alami (learning by doing). Menurut saya mereka-orangtua hanya peduli pada diri mereka sendiri. Mereka akan merasa bangga dan tidak malu jika anak-anaknya berprestasi di sekolah. Itu bisa menjadi ‘gengsi’ mereka-para orangtua. Mereka bisa ‘menyombongkan’ diri mereka di hadapan teman-temannya bahwa anak mereka rangking 1 di kelasnya, juara Lomba Matematika, juara Lomba Bahasa Inggris dan lain-lain.
Dan yang membuat miris hati ini adalah, para orangtua itu hanya peduli dengan pelajaran-pelajaran duniawi semata. Jarang dari mereka mengajarkan anak-anaknya mengaji. Banyak dari anak-anak itu tidak bisa mengaji Qur’an sama sekali. Para orangtua yang tidak mengajari anak-anaknya mengaji berpikir bahwa mengajarkan anak-anaknya mengaji tidaklah terlalu penting karena mereka pikir mengaji tidak akan terlalu berpengaruh terhadap prestasi mereka di sekolah. Ah, begitu sedih saya melihat kenyataan ini. Padahal sesungguhnya pelajaran dasar anak-anak itu adalah mengaji Qur’an karena Qur’an adalah pegangan hidup mereka nanti. Bagaimana mungkin anak-anak itu bertahan tanpa Qur’an. Entahlah, mudah-mudahan tidak banyak orangtua yang berpikir bahwa mengajarkan ngaji tidak lebih penting daripada mengajarkan Matematika, Bahasa Inggris atau alat musik.
Wahai para orangtua, biarlah anak-anak menikmati masa kanak-kanaknya dengan indah. Biarkahlah anak-anak menikamati masa kanak-kanaknya dengan bermain. Jangan jejali mereka dengan obsesi kalian wahai para orangtua. Bantulah mereka, anak-anakmu jati diri mereka sendiri. Bantulah mereka dalam mengeksplorasi segala potensi yang ada dalam diri mereka. Wallahu’alam …^_^…

Note:mungkin ini hanyalah kegelisahan saya sebagai seorang guru privat yang terkadang merasa iba pada anak didiknya yang selalu terlihat lelah kala belajar bersama saya. Saya berusaha membuat pelajaran saya semenyenangkan mungkin, walapun selalu terdengar pacuan sang ibu yang selalu ‘berteriak’, ‘Ayo les nya jangan main-main’. Ah andaikan saya bisa berkata-kata di hadapan para orangtua itu.
17  Desember 2012

No comments:

Post a Comment