Miss, aku capek… Bu, saya males
les ah… Bu guru, sekarang les-nya main aja ya. Itulah keluhan dari murid-murid
privat saya ketika saya mengajar mereka di sore hari sepulang mereka sekolah.
Kebanyakan mereka bersekolah di sekolah full day yang rata-rata selesainya
sekitar jam 2 atau 3 sore. Mereka adalah anak sekolah dasar, saat mereka
menikmati masa usia anak-anak yang penuh dengan permainan dan kesenangan.
Dimana seharusnya mereka banyak mengeksplorasi diri dengan cara yang menyenangkan
dibandingkan berkutat dengan buku-buku sekolah maupun buku-buku kursusan.
Lingkungan sosial di masyarakat
lah yang menjadikan mereka layaknya robot-robot berbentuk anak-anak. Orangtua
mereka tidak ingin anaknya kalah dari anak yang lain sehingga mereka-orangtua
membebani anak-anak mereka dengan berbagai macam les dan kursus. Mereka
berasumsi bahwa anak yang sukses adalah anak dengan rangking 1 atau 3 besar, 5
besar, ataupun 10 besar di sekolahnya. Mereka akan merasa bangga jika anak
mereka lebih daripada anak-anak lainnya. Mereka tidak merasakan rasa lelah yang
dialami oleh anak-anak mereka sepanjang harinya.
Terkadang, anak-anak itu
memilki agenda yang padat sepanjang minggunya. Dari senin sampai sabtu waktu
mereka dipadati oleh jadwal sekolah dan les atau kursus. Hari Senin dan Kamis,
mereka les Matematika, hari Selasa dan Jum’at les Bahasa Inggris, hari Rabu
latihan renang, hari Sabtu kursus biola dan piano dan seterusnya. Tidak ada
waktu bagi anak-anak itu sekedar bermain sejenak, menggeliatkan otot-otot
mereka dengan bermain galah asin, lompat tali, ataupun petak lari atau umpet. Tidak
ada lagi permainan tradisional yang anak-anak zaman sekarang ketahui atau
mainkan. Mereka hanya mengenal video game computer atau play station. Jarang
sekali anak-anak sekarang menggerakkan badannya untuk sekedar menikmati
permainan.
Kursus dan les telah mengekang
kebebasan mereka. Demi gengsi kedua orangtuanya, kenikmatan anak-anak bermain
telah terampas. Sebenarnya, apa yang dicari oleh para orangtua itu. Apa yang
mereka inginkan dari anak-anaknya. Apakah mereka ingin anak-anak mereka seperti
robot, yang dapat mereka atur sedemikian rupa dan seenaknya mereka sendiri.
Apakah benar kursus dan les yang mereka-orangtua jejalkan itu yang terbaik
untuk anak-anaknya. Karena menurut saya mereka telah melanggar hak anak-anak
mereka untuk bermain, mengesplorasi diri, belajar alami (learning by doing).
Menurut saya mereka-orangtua hanya peduli pada diri mereka sendiri. Mereka akan
merasa bangga dan tidak malu jika anak-anaknya berprestasi di sekolah. Itu bisa
menjadi ‘gengsi’ mereka-para orangtua. Mereka bisa ‘menyombongkan’ diri mereka
di hadapan teman-temannya bahwa anak mereka rangking 1 di kelasnya, juara Lomba
Matematika, juara Lomba Bahasa Inggris dan lain-lain.
Dan yang membuat miris hati ini
adalah, para orangtua itu hanya peduli dengan pelajaran-pelajaran duniawi
semata. Jarang dari mereka mengajarkan anak-anaknya mengaji. Banyak dari
anak-anak itu tidak bisa mengaji Qur’an sama sekali. Para orangtua yang tidak
mengajari anak-anaknya mengaji berpikir bahwa mengajarkan anak-anaknya mengaji
tidaklah terlalu penting karena mereka pikir mengaji tidak akan terlalu
berpengaruh terhadap prestasi mereka di sekolah. Ah, begitu sedih saya melihat
kenyataan ini. Padahal sesungguhnya pelajaran dasar anak-anak itu adalah
mengaji Qur’an karena Qur’an adalah pegangan hidup mereka nanti. Bagaimana
mungkin anak-anak itu bertahan tanpa Qur’an. Entahlah, mudah-mudahan tidak
banyak orangtua yang berpikir bahwa mengajarkan ngaji tidak lebih penting
daripada mengajarkan Matematika, Bahasa Inggris atau alat musik.
Wahai para orangtua, biarlah
anak-anak menikmati masa kanak-kanaknya dengan indah. Biarkahlah anak-anak
menikamati masa kanak-kanaknya dengan bermain. Jangan jejali mereka dengan obsesi
kalian wahai para orangtua. Bantulah mereka, anak-anakmu jati diri mereka
sendiri. Bantulah mereka dalam mengeksplorasi segala potensi yang ada dalam
diri mereka. Wallahu’alam …^_^…
Note:mungkin
ini hanyalah kegelisahan saya sebagai seorang guru privat yang terkadang merasa
iba pada anak didiknya yang selalu terlihat lelah kala belajar bersama saya. Saya
berusaha membuat pelajaran saya semenyenangkan mungkin, walapun selalu
terdengar pacuan sang ibu yang selalu ‘berteriak’, ‘Ayo les nya jangan
main-main’. Ah andaikan saya bisa berkata-kata di hadapan para orangtua itu.
17 Desember 2012
No comments:
Post a Comment