Al-Israa:36

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"In the name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful"



Tuesday 5 January 2016

Multikulturalisme di Cina

Cina merupakan negara yang memiliki beragam etnis di luar 56 etnis yang diakui pemerintah Beijing. Di antara ke 56 etnis tersebut, etnis terbesar ialah Han. Cina merupakan negara yang bersifat monokulturalis yang tidak menerima perbedaan kultur maupun norma di luar etnis mayoritas. Hal ini yang menyebabkan pemerintah Beijing sangat berambisi menciptakan “One Han”. Norma yang dianut oleh Cina Han ialah Konfuciusme dan pemerintahan Beijing sendiri menegakkan nilai-nilai komunis dan sosialis. Karena dominasi Han inilah kemudian yang memicu konflik etnis Han dengan etnis Uyghur. Etnis Han adalah etnis terbesar di Cina sedangkan etnis Uyhgur adalah etnis minoritas, etnis Uyghur hanya berjumlah ± 8.399.393 berdasarkan sensus pada 2010. Jumlah tersebut tersusun atas orang keturunan Cina, Kazakhstan (berjumlah 223.100 pada tahun 2009), dan Kirgiztan (berjumlah 49.000 pada tahun 2009). Etnis Uyghur adalah etnis dengan mayoritas beragama Islam.
Diyakini konflik di Xinjiang (antara etnis Uygur dan Cina Han) yang berujung pada tindakan represi militer pemerintahan Beijing baik secara kultural maupun politik muncul karena banyak sebab, baik internal maupun eksternal. Penyebab internal antara lain pencarian Cina akan kebutuhan permintaan energi domestik seiring dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi yang pesat.  Karena ambisi pemerintah yang ingin menjadikan bangsa Cina yang hanya terdiri dari etnis Han, Ambisi tersebut diwujudkan melalui orang-orang Han berbondong-bondong datang ke Xin Jiang. Kebijakan ini kemudian ditafsirkan sebagai suatu bentuk kolonialisasi.
Etnis Uyghur menilai Cina Han sebagai penjajah dan bukti represi militernya sangat nyata. Berulang kali benturan antara penduduk sipil dan militer terjadi yang menghasilkan penindasan hak-hak asasi manusia, bahkan pada era revolusi kebudayaan pada masa Mao Zedong terjadi genosida dan pembersihan etnis besar-besaran guna mendukung kebijkan Cina Han. Salah satu korbannya ialah etnis Uygur. Sulit sekali menemukan permulaan konflik karena persengketaan dua etnis tersebut telah terjadi bertahun-tahun, bahkan mungkin sejak era dinasti Cina. Etnis Uyghur adalah etnis dengan mayoritas beragama Islam. Oleh sebab inilah, nilai-nilai komunis sosialis yang dianut oleh etnis Han bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut etnis Uyghur.
Mengingat populasi Cina Han yang komposisinya ±98% dari total penduduk Cina, maka terdapat perbedaan besar yang meletakkan norma, standar, dan keyakinan etnis Uyghur termarginalisasi. Bahkan pemerintah Beijing beranggapan agar persoalan etnis minoritas di Xin Jiang itu dieliminasi secara agresif melalui agresi militer. Berbagai realisasi kebijakan tersebut antara lain terjadinya genosida, “ethnic cleansing”, bahkan wanita dan anak-anak menjadi korban. Etnis Uyghr tidak diberi kesempatan untuk beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan pada bulan Ramadhan tahun 2015, pemerintah Cina melarang muslim di Cina berpuasa dengan menetapkan kebijakan untuk makan siang bersama pada waktu yang telah ditentukan. Jika ada warga yang tidak ikut makan siang bersama maka akan diberi sanksi bahkan dipecat dari pekerjaannya. Begitupun kebijakan makan siang bersama di bulan Ramadhan ini berlaku juga pada seluruh siswa di Cina. Jika ada siswa yang tidak ikut makan siang bersama, maka siswa tersebut akan diberi sanksi atau dikeluarkan dari sekolah.
Jadi, implementasi multikulturalisme di Cina tidak bisa dikatakan baik dengan adanya diskriminasi terhadap etnis minoritas Uyghur. 


No comments:

Post a Comment