Al-Israa:36

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"In the name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful"



Wednesday, 29 May 2024

Berharap dan Meminta


Boleh berharap, tapi jangan berharap-harap. 
Berharap hanya pada Allah, karena berharap pada selain Allah hanya mendatangkan kekecewaan. 

“Berharaplah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan harapanmu sekalian.” (QS. Al Mukmin: 60)

"Allah SWT akan mengabulkan harapan bagi siapa saja yang berharap hanya kepada-Nya".(QS. Al Baqarah: 186)

Janji Allah itu pasti, dan janji Allah itu sangat jelas tersurat dalam Quran, kitab yang Allah jaga kebenaran dan keakuratannya, yang tidak ada satu makhluk pun yang mampu untuk merubah atau merevisinya. 

Jadi, bukan hanya boleh tapi kita harus berharap hanya pada Allah, dan tidak elok jika kita berharap-harap pada manusia karena bisa jadi manusia lain tidak sesuai dengan harapan kita, baik itu tindakan dan perilakunya. 

Mungkin pernah kita menggantungkan harapan pada manusia dan tak jarang kita mendapatkan kekecewaan. Kenapa kita tidak bisa berharap pada manusia? Lah, masa iya kita berharap pada makhluk yang sama lemahnya dengan kita. Apa yang bisa diharapkan dari makhluk yang sama lemahnya. 

Berharap boleh tapi harus masuk akal juga. Berharap dapat salah satu dari para ahjusi di dunia perdrakoran, ya itu namanya halusinasi. Berharap dapat suami sekaya Kim So Hyun, aktor Korea Selatan dengan bayaran termahal juga halu. Bagi sebagian orang, mendapatkan pasangan yang populer mungkin sesuatu yang mungkin terjadi, tapi bagi orang biasa yang berharap lebih itu laksana punguk merindukan bulan.

Lalu, harapan seperti apa dong yang bisa kita panjatkan? Bukankah menggantungkan harapan setinggi langit kepada Allah tidak ada yang tidak mungkin? Memang benar, saat kita menggantungkan harapan pada Allah, dijamin kita gak akan kecewa karena Allah Maha Mengetahui. Allah tahu yang terbaik untuk kita, bahkan Allah akan memberikan sesuatu yang lebih baik dari harapan kita. 

Boleh meminta, tapi jangan meminta-minta. Meminta itu sama Allah karena Allah sangat suka jika hamba-Nya sering meminta kepada-Nya. 
“Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. ” (QS. Ghafir: 60)

“Wahai hamba-Ku, kalian semua kelaparan, kecuali orang yang aku berikan makan. Maka mintalah makan kepadaku, niscaya aku akan berikan. Wahai hamba-Ku, kalian semua tidak berpakaian, kecuali yang aku berikan pakaian, Maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya akan aku berikan” (HR. Muslim no. 2577).

Allah itu suka jika manusia meminta pada-Nya, bahkan hal-hal yang remeh sekali pun. “Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sendal sekalipun” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/42) 

Meminta hal yang remeh menandakan kita begitu membutuhkan Allah bahkan dalam hal yang paling remeh sekalipun. Meminta perkara yang remeh temeh itu semakin menunjukkan kefaqiran kita di hadapan Allah Ta’ala.

Bahkan para salaf terdahulu sering meminta hal remeh seperti garam untuk adonan tepungnya atau tali kekang untuk kudanya. Kita pun boleh meminta hal kecil seperti minta baju atau sepatu baru, minta susu untuk anak, minta didekatkan dengan tukang seblak yang racikannya enak, dan hal remeh lainnya. 

Tentu saja selain meminta hal kecil, kita pun harus sering meminta hal yang lebih penting dan besar seperti minta jodoh yang salih, atasan yang baik, rekan kerja yang satu frekuensi, sahabat yang setia, kemerdekaan Palestina, kehancuran Zionist, dan hal penting lainnya. Semakin banyak kita meminta pada Allah, semakin baik. 

Ketika Allah telah memberikan sesuatu kepada kita, maka syukuri apa yang Allah berikan. Jangan jadi baperan untuk apa yang masih jadi keinginan karena belum tentu keinginan kita itu baik untuk kita.

Katanya Taaruf, Tapi Malah Pacaran


Bagi sebagian dari kita, ada yang memilih untuk berkenalan sebelum pernikahan itu dengan berpacaran. Katanya sih kalau tidak pacaran dulu bagaimana kita bisa mengenal calon pasangan kita. Gak mungkin kan kita membeli kucing dalam karung. Bahkan di sebagian negara yang katanya disebut modern dan maju, "mencicipi" sebelum menikah adalah suatu kewajaran bahkan keharusan karena mereka beranggapan bahwa sebelum menikah harus cocok dari berbagai sudut terutama masalah yang paling pribadi. 

Namun, pacaran sebelum menikah tidak menjadi jaminan mengenal pasangan dengan baik karena sudah banyak kisah perbedaan sikap saat pacaran dan saat sudah sah menjadi pasangan. Terlebih lagi ketika sudah saling mencicipi ternyata tidak cocok. Sudah habislah kehormatan seorang wanita karena pasti yang dirugikan dalam kegiatan saling mencicipi ini adalah pihak wanita. Naudzubillah. 

Bersyukur masih banyak yang memilih jalan taaruf alih-alih pacaran sebelum menikah. Taaruf dijadikan fase untuk saling mengenal sebelum menikah. 

Taaruf adalah proses berkenalan antara laki-laki dan perempuan untuk menuju jenjang pernikahan. Tujuan taaruf adalah untuk bisa saling memahami dan mengerti kelebihan serta kekurangan calon pasangan, hingga keluarganya. Istilah taaruf  berasal dari bahasa Arab dengan asal kata ta'arafa-yata'arafu-ta'arufan yang artinya saling mengenal sebelum menuju jenjang pernikahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, taaruf merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab "lita'arafu" yang bermakna saling mengenal.

Hanya saja banyak yang menyalahgunakan taaruf sebagai pacaran terselubung. Bilangnya taaruf tapi jauh dari kaidah taaruf. Saling menelepon atau berkirim chat hampir setiap hari. Pergi bersama ke suatu tempat tanpa didampingi mahram atau orang lain yang bertanggung jawab. Hingga berfoto bersama layaknya pasangan. 

Konsep taaruf yang sebenarnya bukanlah pacaran yang dibalut kata-kata islami. Taaruf harus sesuai dengan syariat bukan pacaran yang katanya islami. Mana ada istilah pacaran dalam islam. Banyak aturan yang harus dipatuhi dalam bertaaruf. Jangan sampai taaruf hanyalah sebuah kata, tapi pelaksanaan jauh dari esensi taaruf itu sendiri. 

Bagaimana cara bertaaruf yang benar sesuai syariat? Kita tanyakan saja pada pasangan yang menikah hasil dari taaruf atau banyak baca buku tentang pernikahan yang sesuai syariat. 

#Penulis mau baca-baca dulu dan menyiapkan hati. Soalnya kalau nulis tentang pernikahan suka dihusnudzon-in bentar lagi nikah. Hehehe
Perawatan wajah, dibilang bentar lagi nikah. 
Mulai rajin dan belajar masak dikatain mau nikah. Nulis tentang nikah, eh dicie cie in bentar lagi nikah. 

Amin-in dulu aja deh. Kalau jodoh kan gak ada yang bisa tebak. Bisa jadi dua minggu lagi, atau satu bulan lagi, atau bahkan beberapa tahun lagi ketemu jodohnya.

Masih Tentang Taaruf


Ini hasil baca-baca tentang taaruf yang sesuai aturan. Bisa jadi ada banyak atau sedikit yang kurang sesuai, karena yang nulis belum menikah, dan sedang berikhtiar untuk menuju fase itu. Ikhtiarnya ya dengan baca dan tanya kepada para suhu. Harap jangan dicie cie in yaa... Soalnya suka jadi baper kalau dicie cie in... Hehehe

Taaruf itu kan perkenalan. Yang namanya kenalan kan bisa dengan bermacam media. Ada yang dikenalkan oleh orang tuanya, teman, kolega, bahkan lewat medsos. 

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah kenalan di medsos, tidak ada yang mengenalkan. Dia kirim CV, saya terima CV-nya lalu langsung diserahkan ke ustadz untuk diproses. Qodarullah belum berjodoh. Beberapa tahun kemudian, datang juga beberapa CV, dan beberapa kali juga harus bersabar. 

Gagalnya bertaaruf, bisa jadi ujian untuk orang-orang yang ingin menggunakan cara yang baik untuk pernikahan mereka. Menjaga diri dari sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat. 

Proses taaruf itu tidak mudah, banyak S&K nya. Kalau mau memilih cara yang tidak mudah ini, ya harus dilakukan dengan hati ikhlas dan sabar. Sabar dengan proses yang terkesan 'ribet' dan ikhlas kalau proses taarufnya tidak berakhir sesuai dengan yang diinginkan. Taaruf kan ikhtiar, hasilnya ya pasrahkan. 

Dalam proses taaruf itu banyak hal yang harus dijaga, seperti. 

1. Menjaga Pandangan Mata
Jangan sampai karena tergiur kata-kata jalur islami, mata kita dibiarkan bebas menjelajah, membiarkan penglihatan berkeliaran dari hal yang diharamkan Allah SWT. 

Bagaimana cara menjaga pandangan mata kita? Nah kan sekarang zaman medsos nih, banyak foto-foto kita yang tersebar. Buat yang lagi proses taaruf, jangan keseringan lihat foto-foto calon pasangannya. Kalau sering lihat, nanti baper sendiri. 

Buat mengalihkan dari memandang foto calon yang belum tentu jadi itu, lebih baik mandangin para ahjusi per drakoran. Eh, gak boleh juga hobi mandangin para ahjusi itu karena sering mandang yang cakep-cakep, bisa bikin ekspektasi kita terlalu tinggi dan jadinya ngehalu pengen punya suami kaya Hyun Bin, Lee Dong Wook, Gong Yoo, atau Ahjusi lainnya. Hehehe... 

2. Pokok Pembicaraan Tidak Mengundang Hawa Nafsu
Nah, ini harus hati-hati banget saat berkomunikasi dengan pasangan taaruf. Jangan melakukan pembicaraan yang mengarah ke hal dosa seperti pembicaraan bertemakan seks saat proses taaruf. Mungkin bagi sebagian orang, membahas masalah yang pribadi ini sudah biasa, tapi tidak kalau kita ingin proses taaruf yang benar. 

3. Tidak Melakukan Khalwat
Khalwat adalah berdua-duaan antara seorang pria dengan wanita yang bukan mahramnya di tempat sepi. Hal tersebut tidak diperbolehkan saat menjalani taaruf. Oh iya, berkhalwat ini termasuk sering ngobrol gak penting lewat chat atau medsos. Karena sekarang zaman digital, zaman medsos, zaman chat online. Jadi menurut saya, dengan online chat sama saja jatuhnya dengan berkhalwat. Nah loh...kecuali didampingi oleh orang yang memang dipercaya untuk menemani. Idealnya, bikin wa grup barengan si pendamping, tidak hanya chat berdua an... (Ini menurut buku yang saya baca yaa) 

Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya setan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua." (HR. Ahmad)

Lalu, bagaimana kalau kita ingin bertemu untuk lebih saling mengenal? Untuk hal ini, kita bisa mengajak pihak yang kita percaya dan mumpuni untuk menjadi pendamping kita. Bisa anggota keluarga, teman, atau guru. Yang penting, orang yang mendampingi adalah orang yang paham akan proses taaruf.

Jangan bikin pembenaran untuk bertemu dengan dalih bertemu di tempat umum yang banyak orangnya. Tetap saja, hati ini rapuh kawan. Tidak ada yang bisa menjamin hati kita bebas dari bisikan syaiton. Jadi, jangan pernah ketemuan berdua saja. Pastikan ada teman yang mendampingi. 

4. Hindari Bersentuhan Fisik
Menjaga diri untuk saling tidak bersentuhan secara fisik adalah hal yang paling penting saat taaruf. Jangankan bersentuhan fisik, foto bersama saja tidak dibenarkan. Ingat, taaruf itu belum tentu berjodoh. Tetap jaga diri kita dari hal-hal yang dilarang. Rugi dong kalau gak jodoh, tapi udah pegang-pegangan tangan. Apalagi kalau lebih dari itu. Hindari...

Sementara segini dulu. Nanti, kalau sudah baca-baca lagi, saya nulis lagi...

Friday, 29 December 2023

Perempuan, Pejuang Pendidikan

Zaman sebelum kemerdekaan, perempuan tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana halnya laki-laki. Pun perempuan dari kalangan bangsawan tidak pula mendapatkan pendidikan yang layak seperti laki-laki dari kaum bangsawan lainnya. Belum ada perempuan yang diberi kesempatan untuk bersekolah di negara Belanda seperti halnya laki-laki. 

Raden Ajeng Kartini adalah salah satu wanita Indonesia yang memandang miris akan nasib para perempuan di Indonesia. Kartini mengungkapkan rasa kecewa atas tidak diberinya pendidikan yang cukup untuk wanita Indonesia melalui surat-surat yang ia kirimkan kepada teman-temannya di Belanda. 

Lahir di Jepara, Jawa Tengah, Raden Ajeng Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang terpandang. Ayahnya adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah Bupati Jepara dan masih memiliki garis keturunan dari wangsa Mataram. 

Seperti kebanyakan anak perempuan di kalangan bangsawan saat itu, Kartini pun tidak melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Kartini hanya menempuh pendidikan hingga usianya mencapai 12 tahun. Setelah itu, kartini mulai dipingit untuk dipersiapkan menjadi seorang istri. 

Kartini menempuh pendidikan di Europese Lagere School (ELS). ELS adalah sekolah dasar milik pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak keturunan bangsa Eropa, keturunan timur asing, dan pribumi dari Kalangan bangsawan. 
Sesuai tradisi pada zaman itu, setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, Kartini mulai dipingit di rumah. Pada saat itulah ia mulai menulis surat kepada teman-temannya yang kebannyakan berasal dari Eropa, seperti Stella Zeehandelaar, Jacques Henrij Abendanon, Rosa Manuela Abendanon, dan masih banyak lagi. 

Sebelum berusia 20 tahun, Kartini sudah habis melahap buku-buku seperti De Stille Kraacht karya Louis Coperus, Max Haveelar karya Multatuli, dan masih banyak buku-buku karya penulis habit pada masanya. Semua buku yang ia baca berbahasa Belanda.  

Pada tahun 1903, ia dijodohkan dan menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Arioa Singgih Sjojo Adhiningrat sebagai istri ke-empat. Menikah dengan suami yang sudah memiliki tiga istri sebelumnya ternyata tidak seburuk dugaan Kartini. Terbukti saat menikah, suami Kartini tidak mengekang cita-cita Kartini. Suaminya mendukung cita-cita Kartini untuk memajukan perempuan di Indonesia. Suami Kartini mengizinkan Kartini membangun dan mengelola sekolah untuk perempuan di komplek kantor bupati. 

Selama menikah, Kartini memiliki soerang anak laki-laki, tetapi sayang putranya meninggal empat hari setelah dilahirkan. Kartini sendiri meninggal pada tanggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. 

Selain Kartini, ada juga wanita yang berjuang untuk pendidikan yang berasal dari Jawa Barat. Ia adalah Dewi Sartika. Raden Dewi Sartika lahir dari orangtua bernama Raden Somanegara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas. Ia dilahirkan di Cicalengka, Kabupaten Bandung pada tanggal 4 Desember 1884. Kedua orangtuanya merupakan para pejuang yang menentang pemerintahan Hindia Belanda. 

Dewi Sartika telah memiliki minat terhadap pendidikan sejak ia kecil. Ayah dan ibunya lah yang memperkenalkan Dewi Sartika kecil dengan dunia pendidikan. Walaupun saat itu menyekolahkan anak perempuan itu bertentangan dengan pandangan masyarakat tetapi kedua orangtua Dewi Sartika tetap menyekolahkan putrinya di Eerste Klasse School. Di sana, Dewi Sartika belajar bersama dengan anak-anak dari kalangan bangsawan, Belanda, dan Indo-Belanda. 

Karena kecerdasannya yang luar biasa, Dewi Sartika kerap mengajar membaca dan menulis kepada teman-temannya di sekitar rumahnya, khususnya para anak perempuan pribumi. 
Pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus perempuan di Bandung yang diberi nama Sekolah Istri. Sekolah ini merupakan sekolah pertama dan tertua di Indonesia. Di sekolah ini para perempuan diajarkan untuk membaca, menulis, merenda, menjahit, dan masih banyak lagi. 

Islam dan Rasulullah SAW sangat memperhatikan pendidikan, terbukti dengan banyaknya ayat dalam Al-Quran dan Hadits yang menyatakan pentingnya untuk menuntut ilmu. Berikut adalah beberapa ayat dan hadits tentang pentingnya pendidikan. 

"Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Muslim)

"Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali." (HR Tirmidzi)

"Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi, tidaklah mewariskan dirham dan dinar, akan tetapi mereka mewarisi ilmu, maka barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang besar." (HR Abu Dawud)

Apa yang dilakukan oleh Kartini dan Dewi Sartika dan para pejuang pendidikan bagi perempuan lainnya bukan hanya wacana dan rencana saja. Mereka telah mewujudkan impian dan rencana mereka dalam tindakan nyata. Keresahan yang dialami telah memotivasi mereka untuk mewujudkan impian mereka demi kemajuan para perempuan di masa lalu. Kisah heroic mereka pun memotivasi para pejuang pendidikan untuk meneruskan perjuangan Kartini dan Dewi Sartika.

Thursday, 28 December 2023

Asa Perempuan

Nindya menatap pohon-pohon yang berjejer rapi di sepanjang jalan yang dilalui oleh bis yang sedang ditumpanginya. Banyak hal yang bergejolak dalam pikirannya. Pikirannya melayang kembali ke beberapa tahun silam saat ia baru saja duduk di bangku kuliah.

Kejadian yang sangat membekas di memorinya. Saat itu ia sedang liburan semester. Ketika ia tiba di rumahnya, ada seorang perempuan muda bersama dengan seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun menangis di dapur. Ibunya memberitahu jika perempuan muda itu adalah asisten rumah tangga baru. Ibu bercerita perempuan bernama Wati itu baru saja diceraikan oleh suaminya. Karena ibu dan ayahnya merasa kasihan, Wati diterima kerja sebagai asisten rumah tangga walaupun tidak memiliki keterampilan apapun.

Setelah mengobrol banyak dengan ibunya, Nindya baru mengetahui bahwa banyak sekali perempuan muda yang bernasib sama seperti Wati. Menikah muda, memiliki anak tanpa pendidikan yang memadai dan setelah itu diceraikan oleh suaminya ketika sang suami mendapatkan perempuan yang lebih muda dan cantik.

“Memangnya orang tua mereka tidak menyekolahkan anak-anaknya, Mbu?” tanya Nindya pada ibunya.

“Masih banyak masyarakat di desa ini yang belum memiliki pemikiran ke arah yang lebih baik. Banyak orang tua yang masih berpikiran kalau perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi. Yang penting mereka bisa masak dan sehat agar bisa hamil, melahirkan dan melayani suami mereka,” Jelas Euis, ibu Nindya.

“Tapi, Mbu. Perempuan sekarang harus memiliki pendidikan yang tinggi bukan hanya untuk mengejar karir tapi agar mampu mendidik anak-anak mereka juga dengan baik,” kata Nindya. Dirinya masih sulit menerima kenyataan pemikiran kolot yang masih dianut oleh kebanyakan warga di kampungnya.

“Kenyataannya mereka masih berpikiran seperti itu, Neng. Abah sebagai tokoh masyarakat di sini juga masih kesulitan untuk merubah cara pandang warga di sini. Masih panjang prosesnya, Neng. Kita tidak bisa merubah cara pandang yang mereka anut berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin beratus tahun dengan cepat. Harus ada proses dan prosesnya itu membutuhkan kesabaran yang luar biasa.” Euis menjelaskan dengan sabar.

“Ya gak bisa gitu, Mbu. Kasihan kan perempuan di kampung ini. Mereka tidak bisa menikmati masa muda mereka. Hak mereka untuk mendapatkan ilmu dan pendidikan pun tidak didapatkan hanya karena mereka harus cepat menikah. Ini tidak bisa dibiarkan,” protes Nindya.

“Sekarang tugas kamu belajar dengan tekun lalu lulus dengan cepat dengan nilai yang baik. Setelah kamu lulus dan memiliki kemampuan yang memadai untuk merubah keadaan yang kamu pandang tidak ideal, benahilah kampung ini. Abdikan diri kamu untuk kemajuan kaum perempuan di kampung ini. Ambu pasti selalu mendoakan kamu.”

Kata-kata ibunya terus terngiang di telinga. Doa ibu agar ia memajukan kaum perempuan di kampungnya menjadi penyemangatnya dalam menyelesaikan kuliah. Cita-cita terbesar Nindya saat ini adalah kemajuan kaum perempuan di kampungnya. Ia bertekah untuk merubah cara pandang kolot kebanyakan masyarakat di kampungnya.

Selama perjalanan, Nindya kembali merenungkan  impiannya. Sebelum pulang, ia sudah merencanakan banyak hal demi kemajuan perempuan di desanya. Dadanya bergetar hebat saat membayangkan rencana demi rencananya akan terwujud. Bibirnya tersungging, tertarik hingga menampilkan senyum sumringah. 

Sekarang di sini lah Nindya berdiri tegak setelah beberapa saat tadi turun dari bus yang ditumpanginya. Ia benar-benar menikmati perjalanan dari kota tempatnya berkuliah hingga ke kampung halaman tempat ia bertumbuh kembang. Tekad untuk mendobrak pemikiran kuno dan merubah nasib para perempuan di desanya sudah sangat kuat tertanam.

Nindya menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya oksigen di dalam paru-parunya perlahan-lahan. Ia mengedarkan padangannya untuk mencari transportasi yang bisa mengantarnya sampai ke rumah. Ia siap berjuang mewujudkan semua cita dan rencananya. 

Wednesday, 27 December 2023

Marjinalisasi Perempuan dalam Politik

Pandangan negatif masyarakat terhadap perempuan masih saja terasa timpang dan mungkin tidak adil bagi perempuan. Perempuan masih dipandang sebelah mata oleh sebagian mayarakat yang masih berpikiran kolot. Bahkan beberapa bagian masyarakat masih memiliki anggapan bahwa tingkat perempuan berada di bawah laki-laki. 


Berbagai stereotype atau prasangka terhadap perempuan memunculkan sikap antipasti yang menggeneralisasi perempuan dengan sifat yang sama. Dari stereotype ini, perempuan dilabeli dengan sikap yang diinginkan oleh masyarakat. Perempuan yang lemah, cengeng, penggoda, tidak rasional, emosional, dan tidak mampu mengambil keputusan penting. Prasangka-prasangka negatif ini dijadikan label untuk semua perempuan padahal tidak ada dasar atasnya. Bahkan seringkali pelabelan tersebut tidak seratus persen benar. 


Dalam pandangan sebagian masyarakat, kodrat perempuan hanya sebatas sumur, dapur, kasur atau mengurus rumah tangga serta melayani suami di rumah dan perkara mencari nafkah di luar rumah menjadi urusan suami. Bekerja adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat mendasar. Tetapi peradaban membebani perempuan dengan stigma yang cukup bertendensi negative jika diterapkan di zaman serba modern seperti sekarang. 


Zaman dulu dan mungkin zaman sekarang juga masih ada pandangan yang berpendapat bahwa perempuan yang meniti karier, tidak dipandang sebagai perempuan yang hebat, melainkan sebagai perempuan yang gagal. Mereka disebut gagal menyelenggarakan tugas utamanya yaitu mengurus rumah tangga. Sebaliknya, jika dalam kondisi perempuan yang harus bekerja menghasilkan materi untuk menghidupi keluarganya sebagai tulang punggung keluarga hanya akan sekadar dianggap ‘menggantikan’ fungsi suami. Anggapan ini walaupun ‘salah’ menurut pandangan saya dan juga mungkin banya perempuan bekerja lainnya di luar sana tetapi ternyata masih kuat menguasai budaya kita.


Zaman dulu, budaya kita didominasi budaya patriarki atau budaya yang menempatkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Perempuan dianggap tidak bisa melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Pemikiran perempuan dianggap remeh dan tidak mumpuni untuk membicarakan hal-hal kompleks termasuk masalah politik, keuangan, negara dan masalah kompleks lainnya. 


Membicarakan politik dianggap isu yang berat dan njlimet. Banyak perempuan yang belum melek masalah politik. Sebagian masyarakat masih beranggapan dunia politik adalah dunia para laki-laki bukan dunia perempuan. 


Sebenarnya di masa modern ini, dunia perempuan sudah sangat berkembang dan lebih luas. Perempuan tidak dianggap sebelah mata lagi. Banyak perempuan yang bekerja dan bahkan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sebagian laki-laki.  Namun, politik masih menjadi isu yang belum biasa dibicarakan oleh perempuan dari berbagai kalangan. Padahal politik adalah satu bahasan yang sebenarnya penting untuk didiskusikan bahkan dieksekusi oleh perempuan. Benarkah seperti itu?


Politik dipandang sebagai salah satu dari beberapa masalah ‘di luar jangkauan’ perempuan sehingga hanya laki-laki saja yang mampu untuk memikirkan politik dengan segala isi otak dan pemikirannya. Hal ini seolah memberi garisan tegas bahwa antara perempuan dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu dengan yang lainnya. 


Dunia perempuan dibatasi hanya di dalam rumah yang meliputi wilayah domestik, mengurus anak-anak dengan segala macam keruwetannya. Kalaupun berkarir dan bekerja di luar rumah, maka pekerjaan/karir mereka bukanlah hal yang utama. 


Para perempuan bekerja diharuskan siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja. Sedangkan politik dipandang hal yang hanya cocok digelukuti oleh  laki-laki karena di dalamnya penuh dengan intrik-intrik berbahaya, terlihat maskulin dan penuh manuver serta identik dengan uang dan kekuasaan.


Mendekati tahun politik, perempuan menjadi sasaran empuk yang bisa digunakan sebagai objek politik. Stereotype bahwa perempuan tidak bisa membuat keputusan yang tepat menjadi hal yang menggairahkan para subjek politik dalam meraup suara. Perempuan dianggap tidak memiliki kapasitas untuk memilih dan membuat keputusan mengenai pilihan politiknya sehingga mudah saja untuk menggiring pilihan para perempuan. 


Bagaimana peran perempuan dalam dunia politik di Indonesia? Perempuan memang seharusnya berperan aktif dalam polotik karena ada beberapa undang-undang mengenai perempuan yang hanya perempuan lah yang memahami sesama perempuan sehingga perempuan harus dilibatkan aktif dalam perumusan undang-undang yang berhubungan dengan keperempuan. 


Untuk mewadahi keikutsertaan perempuan dalam konstelasi perpolitikan, Negara Indonesia sebenarnya telah memberikan kesempatan yang cukup bagi perempuan untuk ikut bertarung dalam kancah perpolitikan. Terbukti dengan undang-undang yang mengharuskan setiap partai politik untuk menyertakan peran perempuan. 


UU No 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap tiga bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan. 


Namun, akankah nasib perempuan yang termajinalkan akan berubah atau masih hanya wacana saja yang entah kapan terealisasikan? 



Tuesday, 26 September 2023

Genre Surealis dalam Tulisan Fiksi

 


Genre surealis sering dianggap sebagai fiksi yang aneh, absurd dan non rasional. Fiksi surealis bisa memiliki banyak interpretasi, bisa diterjemahkan atau dimaknai secara bebas oleh pembacanya. Fiksi surealisme berbeda dengan fiksi realis apalagi fantasi. Fiksi surealis seperti jembatan antara fiksi realis dan fantasi. Perbedaan antara fiksi surealis dan fantasi adalah jika dalam fiksi fantasi, sejak awal unsur-unsur fantasi sudah disajikan pada semesta yang dibangun. Keanehan itu tampak wajar karena memang dunianya sudah terbangun, kefantasiannya sejak awal sudah tertata sedangkan dalam fiksi surealisme, keanehan, keganjilan seringkali tidak logis dan tanpa penjelasan, tidak bisa dinalar. Hal ini terjadi karena sejak awal unsur-unsur realis tetap dikedepankan. Fiksi surealis lebih terasa sebagai fiksi yang abstrak, dengan menggabungkan unsur fantasi dan hal realis dengan padanan yang pas. Fiksi surealis seringkali dianggap absurd. Keanehan itu terbangun karena ada banyak unsur realisme yang tetap dipertahankan. Jadi, dalam hal ini unsur realisme tetap menjadi patokan utama.

Selain padanan yang pas antara unsur realis dan fantasi, fiksi surealis seringkali menggunakan metafora dan personifikasi. Penggunaan metafora dan personifikasi menjadi salah satu ciri dalam fiksi surealisme. Personifikasi membantu menggambarkan suatu benda atau sesuatu yang bukan mahluk hidup menjadi seperti layaknya mahluk hidup.

Selain penggunaan metafora dan personifikasi, ciri lain fiksi surealis adalah penggunaan diksi yang kaya. Diksi yang kaya bukan berarti diksi yang rumit, berat dan membuat dahi mengerut, apalagi diksi yang sama sekali tidak sesuai konteks. Pada fiksi surealis detail atau pun deskripsi terasa lebih hidup dan nyata dengan penggunaan diksi-diksinya yang unik dan kaya. Pemilihan diksi akan memperkuat unsur absurd dalam fiksi surealis. Penggunaan diksi unik dan apik untuk membangun deskripsi dan detail cerita juga bisa kita terapkan pada genre fiksi mana pun. Karena diksi unik dan kaya akan mampu membangun visualisasi yang bagus dibenak pembaca selama penggunaan diksinya pas dan tidak berlebihan.

Meski fiksi surealisme lebih sering disebut sebagai karya fiksi yang aneh dengan banyak interpretasi, tetapi tidak boleh meninggalkan aturan-aturan baku dalam kebahasaan dan tidak bisa seenaknya saja disusun demi mencapai efek indah yang diinginkan. Jadi walau dipandang aneh secara cerita tetapi aturan dan tata bahasanya tetap diperhatikan.